Insentif pajak di Indonesia saat ini yang menurutnya tidak kalah menarik dibandingkan negara tetangga

Jakarta (ANTARA) - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah perlu mempertimbangkan pemberian insentif yang sesuai dengan kebutuhan investor agar komitmen investasi yang sudah ada dapat segera terealisasi.

Yusuf mencontohkan insentif pajak di Indonesia saat ini yang menurutnya tidak kalah menarik dibandingkan negara tetangga. Pemerintah beberapa kali melakukan revisi atas ketentuan tax holiday dengan menambah sektor industri yang berhak memperoleh insentif maupun memperpanjang waktu libur pajak.

"Sayang, tidak banyak yang memanfaatkan berbagai insentif pajak yang ditawarkan pemerintah sehingga realisasi investasi juga tidak naik tinggi," ujar Yusuf dalam keterangan di Jakarta, Kamis.

Menurut Yusuf, insentif pajak yang tidak terlalu berdampak signifikan terhadap realisasi investasi tersebut bisa jadi disebabkan karena insentif pajak memang bukan pertimbangan utama bagi investor dalam merealisasikan investasinya. Namun, bisa juga karena insentif pajak tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan investor.

Itu sebabnya, lanjut Yusuf, pemerintah juga perlu mempertimbangkan pemberian insentif berdasarkan kebutuhan industri yang akan dibidik oleh investor, meski memang membutuhkan usaha yang lebih besar untuk menghitung kebutuhan insentif tiap sektor dan berapa lama imbal hasil masing-masing sektor.

"Ini mungkin saja dilakukan dalam rangka menarik investasi untuk mendorong masing-masing industri," kata Yusuf.

Pemberian insentif dalam rangka menarik investasi memang tidak bisa dipukul rata. Karena jika ditilik lebih dalam, investor yang berkomitmen untuk berinvestasi datang dari berbagai jenis industri mulai industri manufaktur, barang konsumen hingga produk inovasi seperti mobil listrik. Hal itu menunjukkan bahwa investor membutuhkan jenis insentif yang berbeda.

Sejak awal 2020, komitmen investasi terus mengalir ke Indonesia. Meski begitu menjelang akhir tahun, realisasinya tidak berbanding lurus dengan komitmen yang masuk. Penyebabnya, investor kerap menemui berbagai hambatan untuk merealisasikan rencananya. Selain soal perizinan, lahan, dan tenaga kerja, hambatan investasi juga dipicu kurang ketatnya koordinasi antara kementerian dan lembaga sertai permasalahan hubungan pemerintah pusat dan daerah.

Sebelumnya, Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal (BKPM) Ikmal Lukman mengatakan, meski di tengah tantangan akibat pandemi COVID-19, daya tarik investasi di Indonesia tetap menjanjikan.

"Ada (perusahaan global) yang ingin segera masuk ke Indonesia, ada juga yang sudah masuk dan ingin melakukan peningkatan produksi dan perluasan pabrik. Kita akan dengar apa harapan-harapan mereka. Tentu ini bisa menjadi sentimen positif bagi investasi di tengah pandemi ini,” ujar Ikmal Lukman saat mengikuti kunjungan BKPM ke Belanda beberapa waktu lalu.

Di tengah kondisi resesi seperti ini, tampaknya urgensi realisasi investasi sangat diharapkan untuk dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Pemerintah pun diminta kembali menindaklanjuti proposal-proposal investasi yang sudah masuk agar dapat membantu pemulihan ekonomi nasional pada 2021.

Baca juga: Sri Mulyani sebut 214.097 permohonan insentif pajak telah disetujui
Baca juga: BKPM catat ada 13 pengajuan fasilitas "tax allowance" melalui OSS

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020