Tidak adanya aturan yang jelas, negosiasi dari penegak hukum dengan tersangka terkait dengan 'justice collaborator' lebih pada tawar-menawar nonformal yang kadang justru ada bentuk ancaman di dalamnya.
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) diharapkan dapat makin berperan dalam optimalisasi mekanisme justice collaborator (saksi pelaku yang bekerja sama), kata advokat Maqdir Ismail.
Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis, Maqdir Ismail memandang perlu pelibatan LPSK sekaligus mengoptimalkan perannya, misalnya, memberikan rekomendasi justice collaborator.
"Jadi, tidak hanya bergantung pada penuntut umum," kata Maqdir yang juga menyampaikan hal itu dalam diskusi yang digelar LPSK bertema "Optimalisasi Peran Saksi Pelaku yang Bekerja Sama dalam Proses Peradilan Pidana" di Bandung, Rabu (9/12).
Menurut Maqdir, seharusnya ada aturan yang mengatur agar LPSK memiliki wewenang untuk melakukan tindakan tertentu. Misalnya mewawancarai pelaku sesaat setelah berstatus tersangka untuk menanyakan apakah yang bersangkutan bersedia menjadi justice collaborator atau tidak.
"LPSK juga perlu diberikan wewenang untuk menetapkan apakah yang bersangkutan bisa masuk kategori justice collaborator atau tidak," kata Maqdir.
Baca juga: LPSK harap tersangka kasus Djoko Tjandra jadi "justice collaborator"
Dengan tidak adanya aturan yang jelas, kata dia, negosiasi dari penegak hukum dengan tersangka terkait dengan justice collaborator lebih pada tawar-menawar nonformal yang kadang justru ada bentuk ancaman di dalamnya.
Maqdir juga mengemukakan bahwa hukuman untuk orang yang menjadi justice collaborator berkekuatan hukum tetap karena dalam proses banding bisa saja hukuman justru tambah berat yang menyebabkan peran justice collaborator dalam membuka fakta perkara menjadi sia-sia.
Politikus Akbar Faisal sependapat memperjelas aturan terkait dengan justice collaborator. Saat ini, keberadaan LPSK seakan tidak ada.
Ia mencontohkan sulitnya LPSK mendapatkan akses untuk menemui orang yang berpeluang menjadi justice collaborator. Padahal, sebagai lembaga negara,LPSK harusnya bisa mengakses hal tersebut, termasuk tata cara pengajuan menjadi justice collaborator.
"Ini semua harus diperjelas melalui aturan terkait justice collaborator, termasuk soal wewenang LPSK," ujar Akbar.
Sementara itu, pakar hukum Universitas Padjajaran Prof. Romli Atmasasmita menilai aturan terkait dengan justice collaborator sebaiknya masuk ke dalam RUU KUHAP yang sedang dibahas.
Dengan masuknya mekanisme justice collaborator ke dalam KUHAP, dia berharap penerapan perannya dalam pengungkapan perkara bisa optimal.
"Justice collaborator itu terkait dengan organized crime bukan kejahatan biasa karena mengungkap atau membongkar perkaranya sulit sehingga harus ada upaya spesial untuk membongkarnya. Dalam hal ini melalui peran justice collaborator," kata Romli.
Baca juga: Hakim tolak permohonan "justice collaborator" Wahyu Setiawan
Selain dimasukkan ke dalam RUU KUHAP, Romli juga mengusulkan agar mekanisme justice collaborator turut masuk ke dalam RUU Pemasyarakatan dan RUU Perlindungan Saksi dan Korban jika nantinya akan direvisi.
"Hal ini penting agar terjadi harmonisasi dalam aturan-aturan yang terkait dengan justice collaborator," ujar Romli.
Adapun penggiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satya Langkun mendorong LPSK untuk melakukan uji tafsir soal justice collaborator ke Mahkamah Konstitusi (MK). Uji tafsir ini untuk memperkuat ketentuan justice collaborator dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban.
"Hal ini supaya tidak ada lagi penafsiran yang berbeda terkait justice collaborator dengan aparat penegak hukum," kata Tama.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu memandang perlu adanya revisi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan untuk Whistleblower dan Justice Collaborator.
"Hal ini perlu untuk lebih menjamin terpenuhinya hak-hak justice collaborator," ucap Edwin.
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020