Jakarta (ANTARA) - Lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) mengeluarkan indeks kerumunan massa dan keterpaparan virus yang menetapkan Kota Depok sebagai wilayah penyelenggara pemilihan kepala daerah (Pilkada) dengan potensi penyebaran COVID-19 paling tinggi se-Indonesia.
"Dari indeks yang kami formulasikan, didapatkan bahwa Pilkada Depok menempati urutan pertama wilayah yang paling rawan dalam penyelenggaraan Pilkada 2020 dengan angka indeks 64,90 poin," kata peneliti IDEAS Fajri Azhari melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.
Di urutan kedua, daerah paling rawan terpapar COVID-19, yakni Kota Surakarta dengan angka indeks 62,90 poin. Ketiga, Bandar Lampung dengan angka indeks 51,04 poin, keempat Kota Banjarmasin dengan angka indeks 47,19 poin dan kelima Kota Surabaya dengan 46,58 poin.
Baca juga: Calon Wali Kota Depok Mohammad Idris terkonfirmasi positif COVID-19
Di posisi keenam adalah Kota Magelang dengan indeks 43,25 poin, ketujuh Kota Medan 42,69 poin, kedelapan Kota Makassar 40,84 poin, kesembilan Kota Semarang 38,33 poin, dan terakhir Kota Tangerang Selatan.
Fajri menjelaskan angka indeks tersebut diformulasikan dari beberapa data yang diolah, di antaranya data Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari KPU, data luas wilayah dan jumlah penduduk per daerah yang menyelenggarakan Pilkada.
Selanjutnya, data-data tersebut diintegrasikan dengan data kasus aktif dan kasus meninggal akibat COVID-19 per daerah yang menyelenggarakan Pilkada. "Setelah datanya terkumpul, kami analisis dengan memberi pembobotan dan standarisasi pada setiap variabel," ujarnya.
Hasilnya didapatkan angka indeks yang diberi nama indeks kerumunan massa dan keterpaparan virus.
Selain data tersebut, IDEAS juga menemukan hal lain yang membuat Pilkada Kota Depok makin rawan, yaitu informasi dari salah seorang tracer (orang yang melacak pasien kontak erat) yang berada di bawah satuan tugas daerah COVID-19 di Kota Depok.
Menurut tracer tersebut, ujar dia, terdapat dinamika penanganan yang berbeda antara Depok dengan DKI Jakarta. Perlakuan yang menjadi penyebab dasar tinggi-rendahnya angka testing di kedua daerah tersebut.
"Pertama, kuota pemeriksaan tes usap dan PCR di Depok terbatas dan hanya bisa melakukan dua kali tes dalam sepekan," ujarnya.
Sebaliknya, kebijakan pemerintah DKI Jakarta lebih agresif mencari kasus kontak erat tanpa membatasi kapasitas pemeriksaan. Bahkan, apabila ada pasien yang ingin memeriksa di fasilitas kesehatan diperbolehkan serta gratis.
Kedua, pasien kasus kontak erat di DKI Jakarta cenderung lebih terbuka untuk memberikan informasi status kesehatan mereka. Sementara, di Depok lebih suka menyendiri karena merasa malu dan khawatir didiskriminasi akibat status COVID-19.
Meskipun tidak memiliki indeks kerumunan massa dan keterpaparan virus sebesar Kota Depok, IDEAS merekomendasikan kebijakan penarikan rem darurat bagi pemerintah daerah yang menggelar Pilkada jika dalam beberapa hari setelah hajatan demokrasi tersebut terlihat indikasi lonjakan kasus.
Baca juga: GMD minta kaum muda jangan apatis dalam Pilkada Depok
Baca juga: Tingkatkan partisipasi pemilih, KPU depok gelar debat tiga kali
Baca juga: Bawaslu Depok: Pelanggaran protokol kesehatan saat kampanye menurun
"Jika terdapat lompatan kasus harian, pemerintah daerah diharapkan untuk menarik rem darurat atau kembali ke era PSBB dengan pelaksanaan yang tegas," katanya.
Bila tidak, dikhawatirkan sistem kapasitas kesehatan di Tanah Air akan lumpuh, sehingga tidak mampu menampung pasien COVID-19 dan hal tersebut fatal.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020