Gorontalo (ANTARA) - Penamaan Gorontalo dalam pandangan Wakil Bupati Gorontalo Utara, Thariq Modanggu, bukan sekadar kata dari sebuah nama provinsi.

Gorontalo adalah "ruang" sekaligus "isi".

Sebagai sebuah ruang dan isi kebudayaan, kata pria berlatar belakang akademisi ini, Gorontalo yang dalam penyebutannya bagi orang asli dibaca dengan Hulondhalo, telah menjejakkan kebudayaannya pada sebuah diktum yang padat, integral dan bermutu.

Aadati hula-hula'a to Syara'a, Syara'a hula-hulaa'a to Quru'ani, artinya adat bertumpu pada syara' dan syara' bertumpu pada Al-Qur'an.

Dengan ini, genetika keislaman Gorontalo bertumpu pada akhlak kultural (adat) yang penuh kelembutan dan kesantunan.

Wajah sangar dalam berislam nyaris sukar ditemukan dalam gulungan sejarah masa lalu
dalam "ruang" dan "isi" kebudayaan Gorontalo.

Wu'udu (hukum kepantasan) sebagai lapis terluar hukum adat Gorontalo menjadi rangka
sejuk dalam menafsir pesan-pesan agama (Islam) sekaligus aktualitasnya dalam
kehidupan sosialnya.

Tak heran Islam di Gorontalo tampil dalam wajah sufistik yang memang berkarakter sejuk daripada tafsir garis keras yang saat ini diperagakan kelompok-kelompok teroris.

Ini hanya satu dari begitu banyak "isi" kebudayaan yang mencengangkan bila sudi menelisik lebih dalam kekhasan budaya Gorontalo.

Pada level kerajaan, sebuah ruang yang melazimkan hegemoni dan cenderung menghalalkan kekerasan, Gorontalo menjungkirkan kelaziman ini. Sebanyak 87 Linula atau kerajaan kecil (masa Eyato) ataupun 17 Linula versi Kaluku merepotkan Belanda ketika menerapkan pengumpulan upeti berupa emas pada tahun 1828.

Mengapa? ternyata batas-batas kerajaan kecil ini (linula) bukanlah batas teritori, melainkan ikatan masyarakat secara geneologis.

Sarang teroris?

Akibatnya pemerintah Belanda menghapus Linula, menggantinya dengan sistem distrik pada tahun 1856. (dalam data dan analisis sementara disertasi Thariq Modanggu).

Ikatan geneologis non teritori sungguh sangat berdasar bila distempel sebagai tafsir sosial sejuk dan damai.

Lalu bagaimana Gorontalo hari ini? Lenyapkah kesejukan dan kelembutan berislam itu yang digantikan oleh garis keras? Cukup berdasarkah tudingan Gorontalo sebagai sarang teroris?

Thariq, Wakil Bupati hingga tahun 2023 nanti mendampingi Bupati Indra Yasin, mengulasnya dengan mengajak publik untuk mulai menguji pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan fakta-fakta keberagamaan di Gorontalo.

Klaim "Gorontalo itu Islam" dalam batas-batas tertentu katanya, bisa diterima karena Islam bukan semata-mata agama mayoritas melainkan juga cenderung menjadi
identitas kultural.

Maka pertanyaan yang layak diajukan adalah, mengapa di Gorontalo tidak ada konflik agama atau setidaknya terpengaruh oleh konflik antar umat beragama di Poso, Maluku, bahkan terusiknya harmoni umat beragama di Bitung.

Mengapa isu "copian Al-Qur'an di toko Mercy di awal 1990-an hanya mencuat sesaat?
Mengapa isu (maaf) salib di kemasan snack tidak memicu retaknya harmoni keberagamaan di Gorontalo?

Mengapa di Banuroja, salah satu desa di Pohuwato yang penduduk Kristiani tidak lebih dari 7 persen, bisa menghasilkan kepala desa yang beragama Kristen?

Apakah Gorontalo hari ini sarang subur teroris?
Harap tidak bernafsu membuat simplifikasi dan apalagi konklusi yang gampangan dalam
soal-soal yang krusial semacam ini.

Bisa-bisa justru menjadi bagian dari teroris: menyebar teror!

Baca juga: Kades katakan tiga orang yang ditangkap Densus 88 adalah transmigran

Baca juga: Densus 88 tangkap terduga teroris di Gorontalo

Simplifikasi (penyederhanaan) dan konklusi (kesimpulan) mensyaratkan kaidah yang ketat: data yang valid, penalaran yang tepat dan sikap yang arif.

Gegabah menyimpulkan bukannya membantu mencabut akar-akar terorisme malahan
menyuburkan terorisme.

Tugas yang sesungguhnya adalah membersihkan ruang kebudayaan yang sebenarnya anti-terorisme dari virus-virus teroris.

Kembalikan Dulohupa ke khittahnya ruang kebudayaan Gorontalo yang memang cukup menggoda.

Timamango (welcoming) sebagai jalan masuk yang sejuk ke dalam interaksi sosial kini sedang diuji.

"Gorontalo itu Islam" bagi para teroris (berdalih agama, red), boleh jadi dianggap sebagai tempat persembunyian yang aman.

Di sinilah kerja kolektif dibutuhkan kata Thariq, yaitu perjuangan melawan terorisme adalah ruang pengabdian kolektif, apalagi kelompok ini menjustifikasi tindakan kejamnya dengan dalil-dalil kitab suci.

Dulohupa, sudah saatnya dihidupkan kembali di ruang kebudayaan Gorontalo, dikembalikan ke khittahnya sebagai mekanisme sosial yang luhur.

Dulohupa bukan semata musyawarah biasa, Dulohupa adalah demokrasi tanpa voting. Di dalamnya terajut harmoni Islam-Adat, dan Kuasa plus kecendikiaan yang tergambar pada apa yang disebut oleh tokoh adat sebagai Buatula Towuloongo (tiga utas tali, tiga tiang tangga yang menyatu) yang mesti ada dan berperan sama dalam sidang Dulohupa.

Buwatula Syara'a (unsur agama), Buwatula Bubato (unsur pemerintah), Buwatula Bala (unsur Adat) dan ditambah unsur keempat yaitu wali-wali mowali (kaum intelektual, cendekiawan, tokoh panutan/teladan di tengah masyarakat).

Dulohupa sudah waktunya hadir dalam ruang kebudayaan yang setiap hari semakin kompleks.

Dulohupa tidak bisa lagi hanya aktif dalam penetapan kegiatan adat dan keagamaan secara ritual.

Baca juga: Polda Gorontalo terus antisipasi ancaman terorisme

Baca juga: Polisi jaga ketat perbatasan Gorontalo-Sulteng

Dulohupa Milenial bila saya tidak keliru, ada formula begitu baik dalam tradisi keagamaan, al-mukhafadzatu ala' qodim as-salih wa-alakhzu bi al-jadid al-aslah (mempertahankan
nilai-nilai lama yang masih bagus dan mengambil hal-hal baru yang lebih bagus lagi).

Ruang dan isi kebudayaan Gorontalo mustahil statis.

Ia mutlak dinamis lantaran pergantian masa, pergantian orang.

Media sosial kata Thariq, kini telah menjadi semacam "ruang kebudayaan baru", sebuah ruang dimana kesendirian menjadi ruang kebersamaan dan ruang kebersamaan bisa
dikendalikan oleh kesendirian.

"Media sosial pada sisi gelapnya sebetulnya sarang terorisme yang subur dan massif," katanya.

Kita perlu memikirkan mekanisme sosial yang berakar pada karya leluhur yang agung tapi dalam kemasan kekinian, kemasan milenial.

Dulohupa milenial, misalnya, tentu saja bukan tandingan Dulohupa di kalangan orang tua, melainkan turunan ataupun binaan.

Dulohupa milenial merupakan ikhtiar kaum muda untuk mengembangkan dan terutama membenamkan nilai-nilai dulohupa ke dalam alam pikir dan alam tindakan kaum muda.

Bagaimanapun nanti format Dulohupa Milenial, mekanisme sosial ini bisa menjadi sarana pencerahan dan solusi menghajar virus-virus terorisme di kalangan remaja-pemuda, disamping masalah-masalah sosial lainnya.

Selamat ber-dulohupa (klasik) dan dulohupa milenial demi lestarinya kebudayaan Gorontalo yang anti-terorisme..!

Baca juga: Polisi perketat penjagaan perbatasan Gorontalo-Sulteng

Baca juga: Pulau di Gorontalo Utara rawan persembunyian teroris

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020