Elpiji merupakan komoditas energi yang lebih dari 70 persen masih impor, sehingga perlu disubstitusi untuk mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan dan meningkatkan ketahanan energi nasional
Jakarta (ANTARA) - Tim Kajian Hilirisasi Batubara Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM Kementerian ESDM menyebutkan investasi Proyek Dimetil Eter (DME) sebagai produk substitusi elpiji, sangat ekonomis.
"Elpiji merupakan komoditas energi yang lebih dari 70 persen masih impor, sehingga perlu disubstitusi untuk mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan dan meningkatkan ketahanan energi nasional," kata Plt Kepala Badan Litbang ESDM Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam laman Kementerian ESDM yang dikutip di Jakarta, Senin.
Menurut dia, cadangan batu bara Indonesia lebih besar dibandingkan minyak dan gas bumi.
Status terakhir cadangan batu bara tercatat sekitar 38 miliar ton. Dengan tingkat produksi tahunan 600 juta ton, maka usia cadangan batu bara Indonesia diperkirakan 63 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru.
Baca juga: Pengamat sebut energi batu bara masih jadi pilihan rasional
"Kebijakan pemerintah saat ini mendorong hilirisasi atau peningkatan nilai tambah batu bara, salah satunya menjadi DME, yang dapat digunakan sebagai substitusi elpiji," katanya.
Dadan menambahkan dalam rangka mendorong hilirisasi batu bara, pelaku usaha dapat diberikan royalti sebesar nol persen. Hal tersebut, tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Salah satu Proyek DME yang sedang berjalan dilakukan konsorsium PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina (Persero), dan Air Product, dengan kapasitas input enam juta ton per tahun untuk produksi 1,4 juta ton DME.
Mengenai kajian sebuah lembaga think tank yang menyatakan proyek DME tidak masuk skala keekonomian dan menyebabkan kerugian tahunan 377 juta dolar AS, Tim Kajian Hilirisasi Batu bara Balitbang ESDM telah melakukan analisis dan konfirmasi antara kajian lembaga tersebut dengan studi kelayakan (FS) PTBA.
Baca juga: Pengamat: UU Cipta Kerja bakal perkuat hilirisasi batu bara
"Hasilnya didapat bahwa Proyek DME secara ekonomi layak dijalankan," sebut Tim.
Perbedaan hasil kajian, menurut tim, adalah karena perbedaan asumsi data yang digunakan, metode perhitungan, dan pertimbangan dampak berantai (multiplier effect) proyek.
Asumsi harga elpiji lembaga tersebut 365 dolar AS/ton, yang hanya mencerminkan kondisi pada 2020 saat permintaan rendah karena pandemi.
Sedangkan, asumsi PTBA adalah 600 dolar AS/ton yang mencerminkan harga elpiji rata-rata 10 tahun terakhir. Perbedaan harga acuan tersebut berpengaruh terhadap harga jual DME.
Perbedaan lainnya terkait asumsi harga batubara dan kapasitas input batu bara.
Baca juga: Konversi pembangkit batu bara, PLN butuh 8 juta ton sampah/tahun
Asumsi harga batu bara yang digunakan lembaga think tank 37 dolar/ton. Sedangkan, PTBA 21 dolar/ton yang merupakan harga batubara PTBA kualitas rendah pada saat FS dibuat.
Terkait input batu bara terdapat selisih sebesar 500 ribu ton, dengan FS PTBA lebih efisien.
Selanjutnya, metode perhitungan lembaga think tank sangat sederhana yang hanya menghitung satu tahun dengan asumsi biaya produksi DME 300 dolar/ton, mengacu pabrik Lanhua, China.
Sedangkan PTBA telah melakukan FS komprehensif yang menghasilkan keekonomian proyek dengan net present value (NPV) 350 juta dolar AS dan internal rate of return (IRR) sekitar 11 persen, sehingga proyek ekonomis dan tidak rugi. Selain itu Lemigas Balitbang ESDM juga telah melakukan uji coba kompor DME.
"Hasil uji coba menunjukkan efisiensi kompor meningkat dari 61,9 persen dengan elpiji menjadi 73,4 persen apabila menggunakan DME, sehingga keperluan DME untuk kebutuhan memasak terjadi penurunan, lebih rendah dibandingkan kebutuhan kalori teoritisnya," kata Dadan Kusdiana.
Baca juga: Gasifikasi batu bara Bukit Asam tekan impor LPG RP8,7 triliun
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020