Jakarta (ANTARA) - Telah 10 bulan virus corona jenis baru bercokol di Indonesia sejak diumumkan pertama kali pada 2 Maret 2020.
Makin hari, virus ini makin menjadi-jadi dengan pertambahan kasus baru yang mencapai rata-rata di atas lima ribu sehari. Rekor tertinggi pada 3 Desember lalu dengan 8.369 pasien baru.
Data Kementerian Kesehatan pada 5 Desember pukul 12.00 WIB menyebutkan jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 bertambah 6.027 orang. Total telah ada 569.707 orang terkonfirmasi positif di Tanah Air.
Dari jumlah itu, kasus sembuh bertambah 4.271 orang atau total menjadi 470.449 pasien yang telah sembuh. Namun kasus meninggal bertambah 110 atau total meninggal sebanyak 17.589 orang.
Sebanyak 81.669 pasien masih menjalani perawatan di rumah sakit maupun fasilitas kesehatan yang disiapkan dengan pengawasan petugas medis, sedangkan pasien yang tidak bergejala atau gejala ringan menjalani isolasi mandiri.
Data itu menunjukkan bahwa penularan atau penyebaran virus corona jenis baru (COVID-19) masih masif. Kerumunan dan ketidakdisiplinan dinilai menjadi penyebabnya.
Data juga menunjukkan bahwa virus yang pertama kali merebak di Kota Wuhan (China) tersebut telah tersebar di seluruh wilayah (34 provinsi) di Indonesia. Kini, sebanyak 508 kabupaten dan kota telah terjangkiti.
Baca juga: KPU Jatim ambil alih tugas KPU Situbondo karena COVID-19
Pilkada
Dalam situasi perkembangan virus corona yang terus meningkat itulah, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 diselenggarakan. Sebanyak 270 daerah, terdiri atas provinsi, kabupaten dan kota menyelenggarakan pilkada.
Semula, puncak pilkada direncanakan pada 23 September lalu, namun ditunda menjadi 9 Desember mendatang. Penundaan itu disertai perkiraan bahwa pada Desember, virus ini sudah bisa dikendalikan, nyatanya masih berkecamuk.
Tahapan yang terus berjalan disertai pembiayaan yang telah dikeluarkan tentu menjadi salah satu pertimbangan bahwa pilkada tetap jalan terus. Seperti juga kegiatan lain, jalan tengah antara pencegahan COVID-19 dengan pelaksanaan agenda politik ada pada penegakan protokol kesehatan.
Karena itu, meski masih diwarnai pro dan kontra serta kekhawatiran, seruan mengenai disiplin pada protokol kesehatan terus menggema. Peringatan berbagai pihak mengenai pelaksanaan protokol kesehatan seakan menjadi simponi yang tiada henti.
Apalagi tidak sedikit personel penyelenggara pilkada telah terpapar COVUD-19. Itu merupakan kode keras bahwa pilkada dengan puncaknya pada 9 Desember berpotensi menimbulkan klaster baru.
Dalam kaitan ini, telah banyak didengungkan mengenai antisipasi munculnya klaster baru dari arena pilkada. Publik mengkhawatirkan kampanye terbuka memiliki potensi penularan virus tersebut.
Namun Baswalu cepat bertindak dengan menjatuhkan sanksi kepada penyelenggara kampanye maupun kepada pasangan calon. Kalau peringatan dan teguran tak diindahkan, baru dibubarkan.
Tak sedikit kampanye pilkada yang telah dibubarkan oleh Bawaslu. Bahkan jumlahnya ratusan kegiatan kampanye.
Baca juga: KSP: Lembaga pemantau pemilu berperan wujudkan pilkada sesuai prokesAntisipasi
Potensi terjadinya klaster pilkada juga telah berulang kali diingatkan oleh wakil rakyat di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Terakhir, Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono mengingatkan agar pilkada jangan sampai menjadi klaster baru COVID-19.
Nono Sampono telah melakukan pertemuan dengan KPU dan Bawaslu Provinsi Maluku dalam rangka pengawasan pelaksanaan pilkada pada Jumat (4/12). Diharapkan terjalin sinergi atau kerja sama antara DPD RI, KPU dan Bawaslu untuk mewujudkan pilkada yang aman, lancar dan berkualitas di tengah pandemi COVID-19.
Penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi memiliki tantangan tersendiri. Karena pelaksanaan pilkada harus mampu memberikan jaminan kesehatan, baik kepada masyarakat ataupun setiap personel sebagai penyelenggara pilkada di Maluku.
Karena itu, kata Nono dalam pernyataan yang disampaikan di Jakarta, penerapan protokol kesehatan di setiap tahapan pilkada harus dilakukan secara ketat, baik oleh KPU ataupun Bawaslu.
Senator DPD RI dari Maluku Novita Anakotta menganggap KPU mempunyai "pekerjaan rumah" (PR) besar terkait partisipasi masyarakat sebagai pemilih. Dalam menghasilkan pemimpin daerah pilihan masyarakat, harus dari pilkada dengan tingkat partisipasi yang tinggi.
Tidak bisa dipungkiri, baik KPU, Bawaslu dan pihak terkait butuh dukungan kuat karena pilkada dilakukan di masa pandemi. Tujuannya untuk memastikan persiapan pilkada agar angka pemilih tinggi, namun tidak memunculkan klaster baru COVID-19.
Begitu juga senator DPD RI Dapil Aceh Fadhil Rahmi menyoroti partisipasi pemilih yang menjadi tolok ukur keberhasilan pilkada. Fadhil berharap KPU Provinsi Maluku mampu menarik masyarakat untuk menyumbangkan suaranya dalam pilkada ini.
Beberapa survei mengatakan tingkat partisipasi pilkada di tengah pandemi di bawah 50 persen. Padahal sebelum pandemi, rata-rata tingkat partisipasi di nasional pasti di atas 60 persen.
Ditambah lagi adanya pembatasan aktivitas kampanye pasti mempengaruhi kemeriahan pilkada. Hal itu bisa jadi berakibat masyarakat tidak tahu mengenai pilkada sehingga harus menjadi perhatian bagi KPU.
Partisipasi pemilih juga menjadi perhatian Wakil Ketua DPD RI Mahyudin. Dia hadir dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema "Inventarisasi Masalah tentang Persiapan Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020" di Kantor Gubernur Kaltim, Samarinda, Jumat (4/12).
Baca juga: KPU batasi 10 orang pemilih di dalam TPSGolput
Persiapan pilkada di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) sudah mencapai 95 persen. Untuk itu diharapkan kepada masyarakat ikut berpartisipasi dalam pilkada itu, khususnya di sembilan kabupaten/kota yang ada di Kaltim agar pemilihan bisa berjalan dengan lancar.
Pemda setempat telah menjelaskan semua penyelenggara sudah di-rapid test, kemudian alat logistik sudah didistribusikan. Dengan demikian diharapkan semua bisa berjalan aman dan lancar.
Partisipasi masyarakat dalam beberapa pelaksanaan pilkada tidak terlalu maksimal karena masih banyaknya jumlah pemilih golongan putih (golput). Golput kali ini diperkirakan dapat mencapai lebih dari 40 persen.
Apalagi di tengah pandemi COVID-19 ini, ada kemungkinan peningkatan jumlah pemilih golput. Diperkirakan sebagian masyarakat takut datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk mencoblos.
Karena itu, perlu peran pemerintah daerah untuk bisa membantu menyukseskan pemilu ini melalui sosialisasi bahwa TPS itu aman. Tidak usah khawatir dengan COVID-19 karena KPU sudah menyiapkan segala sesuatunya, seperti protokol kesehatan di lapangan, alat kelengkapan dan sebagainya.
Semua sudah dipersiapkan sesuai standar kesehatan sehingga para pemegang suara akan aman dari sisi kesehatan.
Pemilu tanpa COVID-19 sudah ada tantangan. Adanya COVID-19 menghasilkan beban lain dalam pelaksanaan pilkada.
Jangan sampai muncul klaster pilkada yang semakin membebani masyarakat dan pemerintah, baik di sisi kesehatan maupun ekonomi.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020