PP itu belum diterbitkan juga sampai sekarang
Jakarta (ANTARA) - Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mengidentifikasi beberapa akar masalah terkait anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal berbendera asing yang terus terjadi, dengan salah satunya adalah ketiadaan perangkat hukum yang melindungi mereka secara khusus.
Director of Enforcement Support and Access to Justice IOJI Fadilla Octaviani dalam diskusi virtual bertema "Perbudakan di Sektor Kelautan" dipantau dari Jakarta pada Jumat, menyayangkan masih belum diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) perlindungan ABK.
"Sebenarnya ini agak mengecewakan karena di Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) itu pengaturan yang spesifik untuk pelaut semua dibebankan ke dalam PP ini. Jadi bisa dikatakan tidak implementatif UU ini karena PP itu belum diterbitkan juga sampai sekarang," kata Fadilla dalam diskusi yang diadakan Migrant Care dan Kemitraan itu.
Selain itu, Indonesia juga belum meratifikasi konvensi internasional untuk memberikan payung hukum termasuk meratifikasi Konvensi ILO No. 188 tentang Pekerjaan di Perikanan.
Baca juga: 33 pelaut Indonesia dipulangkan dari Taiwan setelah telantar lama
Baca juga: 155 ABK dan dua jenazah yang terjebak di luar negeri tiba di Tanah Air
IOJI juga menyoroti tumpang tindih kewenangan dalam mengatur perekrutan dan penempatan ABK dengan saat ini terdapat tiga perekrutan dan penempatan ABK Indonesia di kapal asing yaitu lewat Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) serta pemerintah daerah.
Tumpanh tindih itu menyebabkan tumbuhnya agensi ilegal dan praktik perekrutan ilegal, dengan pengawasan terhadap mereka tidaklah efektif.
Dia juga mengatakan kendala masih ada karena ketiadaan basis data terpadu ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera asing. Menurut data Kementerian Luar Negeri terdapat 200.000 ABK yang bekerja di kapal ikan asing pada periode 2013-2015 sementara data BP2MI menunjukkan terdapat 30.864 ABK dalam periode 2011-2019.
"Yang lumayan penting juga mengenai ketiadaan pemantauan, kontrol, pengawasan dan penegakan hukum. Lemahnya kontrol dan pengawasan ini mendorong manning agency tetap mengulangi praktik yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan," katanya.
Hal itu dia contohkan dengan jumlah pengawas ketenagakerjaan tidak berbanding dengan perusahaan yang harus diawasi, dengan terdapat 1.282 orang pengawas yang terinci 1.218 orang pengawas daerah dan 62 orang di pusat.
Baca juga: KBRI Bangkok fasilitasi pemulangan ABK Indonesia
Baca juga: BP2MI pastikan kawal proses hukum kasus eksploitasi ABK
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020