Khartoum (ANTARA News/Rueters) - Gerilyawan Darfur bertempur dengan pasukan pemerintah di wilayah timur, Kamis, yang terakhir dalam gelombang bentrokan yang telah memudarkan harapan untuk menghidupkan lagi proses perdamaian yang terhambat.

Perpecahan di kalangan gerilyawan dan bentrokan-bentrokan telah menjadi halangan utama bagi perundingan perdamaian yang ditengahi Qatar.

Kelompok gerilya kuat Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM) telah memperingatkan bahwa mereka akan menyerang pemerintah "di mana pun" setelah menghentikan perundingan itu dengan alasan daerah-daerah mereka dibom oleh pasukan Sudan.

"Kemarin (Rabu) JEM pergi ke desa Um Sa`ouna dan mulai menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia," kata juru bicara militer Sudan.

"Kami telah mengepung jalan-jalan keluar dari desa itu dan terlibat dalam bentrokan hebat dengan orang-orang yang keluar," tambahnya.

Juru bicara itu mengatakan, pasukan tidak bertempur di dalam desa Um Sa`ouna di daerah timur negara bagian Darfur Selatan, karena khawatir akan jatuh korban-korban sipil.

JEM mengatakan, pasukan militer telah ditumpas. "Pasukan kabur ke daerah Ed-Daeen dan She`aria," kata komandan JEM Suleiman Sandal, menunjuk pada dua kota berdekatan.

Menurut Sandal, JEM kehilangan empat personel dan membunuh lebih dari 200 prajurit pemerintah.

Tidak ada penjelasan independen mengenai kejadian itu.

Pemerintah Sudan dan JEM, kelompok pemberontak utama di Darfur, menandatangani perjanjian dan kerangka kesepakatan di ibukota Qatar pada 23 Februari, dan perjanjian final telah diharapkan bisa ditandatangani sebelum 15 Maret.

Namun, perundingan perdamaian lebih lanjut antara JEM dan pemerintah Sudan, yang diadakan di Doha, ibukota Qatar, macet sejak gencatan senjata Februari, dan batas waktu 15 Maret untuk menyelesaikan perjanjian itu terlewatkan.

JEM pada 29 Maret mengancam akan memulai lagi perjuangan bersenjata mereka jika perundingan mencapai titik kebuntuan.

Maju-mundur proses perdamaian antara kedua pihak berlangsung sejak tahun lalu.

Pemberontak Darfur mengadakan dua babak perundingan dengan para pejabat pemerintah Khartoum di Qatar pada Februari dan Mei 2009.

Pada Februari tahun lalu, JEM menandatangani sebuah perjanjian perdamaian dengan pemerintah Khartoum mengenai langkah-langkah pembangunan kepercayaan yang bertujuan mencapai perjanjian perdamaian resmi.

Pada Mei, JEM sepakat memulai lagi perundingan dengan Khartoum yang dihentikannya setelah pengadilan internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Presiden Sudan Omar Hassan al-Beshir karena kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur, Sudan barat.

Perundingan antara pemerintah Khartoum dan pemberontak Darfur untuk mengatasi konflik itu telah ditunda beberapa kali pada tahun lalu.

Perundingan yang dituanrumahahi Qatar itu sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 28 Oktober namun pertemuan tersebut ditunda sampai 16 November karena waktunya bertepatan dengan pertemuan puncak Uni Afrika. Jadwal terakhir itu pun ditunda hingga waktu yang belum ditentukan, kata penengah PBB dan Uni Afrika.

Ketegangan meningkat di Sudan setelah Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) pada 4 Maret 2009 memerintahkan penangkapan terhadap Beshir.

Jurubicara ICC Laurence Blairon mengatakan kepada wartawan di pengadilan yang berlokasi di Den Haag, surat perintah penangkapan terhadap Beshir itu berisikan tujuh tuduhan -- lima kejahatan atas kemanusiaan dan dua kejahatan perang.

Sudan bereaksi dengan mengusir 13 organisasi bantuan dengan mengatakan, mereka telah membantu pengadilan internasional di Den Haag itu, namun tuduhan tersebut dibantah oleh kelompok-kelompok bantuan itu.

Sejumlah pejabat PBB yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan, pengusiran badan-badan bantuan itu akan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi rakyat Darfur.

Para ahli internasional mengatakan, pertempuran enam tahun di Darfur telah menewaskan 200.000 orang dan lebih dari 2,7 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka. Khartoum mengatakan, hanya 10.000 orang tewas.

PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur, pada 2003, ketika pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan kekuasaan. (M014/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010