Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diminta segera melakukan program re-branding Indonesia sebagai salah satu alat peningkatan citra bangsa Indonesia di mata dunia.

"Re-branding Indonesia, semacam pembuatan merek, ataupun ungkapan yang menggambarkan hal positif dan potensi terkait Indonesia, seperti citra negara, bangsa, wilayah, produk tempat tujuan wisata," kata Ketua Yayasan Branding Indonesia, Handito Joewono, di sela acara Marketing Workshop "The 5 Arrows of Branding Strategy", di Jakarta, Kamis.

Menurut Handito, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional 2010, sudah seharusnya pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan segera merumuskan kembali slogan Indonesia di mata dunia.

Ia menjelaskan, pada era persaingan global, merek sangat penting dalam strategi pencitraan dan pemasaran sebagai bagian dari strategi komunikasi pemerintah baik ke dalam negeri maupun ke dunia internasional.

"Merek negara juga merupakan cerminan kekuatan dan kekayaan negara dan bangsa sekaligus pembeda dari negara-negara lain," katanya.

Menurut Handito, negara yang cukup berhasil mencitrakan dirinya seperti Malaysia dengan "The Truly Asia", yang membangun citra reprentasi Asia, Singapura "Uniquely Singapore", menbangun merek yang "premium", sedangkan India "Incredible India" mencitrakan kekuatan ekonomi baru di Asia.

Ia menilai branding program "Visit Indonesia" sudah usang, perlu diganti dengan branding yang membangun persepsi baru dan identitas tentang Indonesia, yang dapat merangkum semua sudut potensi bangsa dengan berbagai keunggulan yang dimiliki.

Sementara itu, Chairman, Southeast Asia Global Brand Identity Network, Daniel Surya mengatakan, sangat disayangkan jika identitas nilai jual Indonesia di luar negeri masih hanya sebatas "Visit Indonesia".

Perlu terobosan baru dalam branding Indonesia, sebagai bentuk konsep kampanye "menjual" Indonesia ke luar negeri.

"Re-branding Indonesia, tidak harus mengganti simbol negara, tidak mesti mengubah Bendera Merah Putih atau nama negara. Tetapi sebagai kata kunci menggambarkan berbagai kelebihan Indonesia dibanding negara lainnya," kata Surya.

Ia mengambarkan, Hongkong kota kecil, berhasil menjadi pusat perdagangan dunia di Asia, yang pada akhirnya mendorong kunjungan wisatawan dari mancanegara untuk berbelanja.

Potential "loss"
Menurut Handito, sesungguhnya Yayasan Branding Indonesia sudah pernah mengusulkan kepada institusi terkait di pemerintahan pentingnya re-branding Indonesia.

Sejak tahun 2004, rencana tersebut belum juga mencapai titik temu bagaimana agar program tersebut terealisasi.

Kementerian terkait yang harus dilibatkan dalam re-branding Indonesia meliputi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, asosiasi terkait, masyarakat pariwisata, hingga kalangan pers.

Ia menambahkan, pencitraan Indonesia ke luar negeri secara langsung ataupun tidak langsung sudah dijalankan Kementerian Kominfo, dan termasuk penyebaran informasi ke luar negeri melalui Kantor Berita Nasional ANTARA.

"Tetapi itu belum cukup, sehingga perlu komitmen pemerintah membangun simpul-simpul bagaimana pencitraan Indonesia mengalir dari semua lembaga pemerintahan," tegas Handito.

Menurutnya, sejak 2004 pihaknya sudah berkali-kali melakukan pertemuan dengan kementerian terkait, namun seringkali belum satu persepsi soal branding Indonesia.

Untuk itu, pada periode baru pemerintahan saat ini, perlu dibentuk semacam satuan tugas (satgas) yang mampu meyakinkan pemerintah dan seluruh kalangan membentuk brand baru "Indonesia".

"Tidak ada kata terlambat. Tidak ada yang tidak mustahil. Lebih cepat lebih baik," imbuhnya.

Ia berpendapat, semakin lama pembantukan branding "Indonesia" , maka semakin besar pula potential loss (potensi kerugian) bagi negara.

Dari sisi ekonomi, diutarakannya, bisa diperkirakan sekitar ratusan triliun per tahun yang seharusnya mengalir ke Indonesia hilang begitu saja, atau beralih ke negara lain.

Potensi pendapatan bisa berupa kunjungan wisatawan mancanegara, bergeraknya bisnis dalam negeri, peningkatan realisasi investasi, ekspor impor, hingga penambahan jumlah donasi dari lembaga-lembaga internasional.(R017/Y006)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010