Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Hukum dan HAM sedang mempelajari peran 37 orang tahanan politik di Papua untuk menentukan apakah mereka laik menerima amnesti atau abolisi dari pemerintah.
"Jumlahnya ada 37 orang, semua di Papua. Ini yang nanti akan kita teliti agar nanti masuknya ke presiden lebih jelas," kata Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar di Jakarta, Kamis.
Patrialis menjelaskan, kementerian akan meneliti tindakan yang telah mereka lakukan, sehingga mereka menjadi tahanan.
Rencananya tim dari kementerian akan mengelompokkan siapa diantara mereka yang melakukan kejahatan dan siapa yang ditahan karena menyuarakan atau memperjuangkan kesejahteraan bagi rakyat setempat.
"Harus dibedakan mana kejahatan, mana yang mereka menyatakan pikiran secara baik," kata Patrialis.
Patrialis mencontohkan, beberapa dari mereka ditahan karena menyuarakan penegakan hukum atas pengelolaan dana otonomi khusus yang diduga bermasalah.
Menurut dia, jika aksi itu dilakukan dengan tidak menyalahi hukum, maka yang bersangkutan seharusnya bisa diampuni.
Patrialis sudah meminta Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan HAM untuk meneliti peran 37 tahanan politik di Papua itu.
Tim tersebut diminta memberikan laporan sesegera mungkin.
Secara terpisah, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Hafid Abbas mengaku sudah menyiapkan tim untuk meneliti peran para tahanan tersebut.
Rencananya, tim itu akan berangkat ke Papua pekan depan untuk melakukan tinjauan langsung di lapangan.
Tim akan meneliti peran para tahanan itu dan mengelompokkannya, sehingga bisa diketahui tahanan yang laik mendapatkan amnesti atau abolisi.
Amnesti adalah hak presiden untuk meniadakan akibat hukum dari delik tertentu atau dari sekelompok delik demi kepentingan terdakwa, tersangka dan mereka yang belum diadili.
Sedangkan abolisi adalah tindakan meniadakan atau menghapus bukan saja hal yang berkaitan dengan pidana atau hukuman, tetapi juga yang menyangkut akibat- akibat hukum pidana yang ditiadakan seperti putusan hakim atau vonis.
(F008/S026)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010