"Untuk OJK sendiri saya lihat untuk mengoptimalkan inklusi keuangan yang sudah tercapai, akan lebih baik kalau kita juga support penerbitan instrumen investasi baru yang bisa diserap pasar dan juga masyarakat yang appetite menabungnya sudah tinggi sekali ini, sudah 31,2 persen dari GDP atau hampir setara dengan kondisi sebelum commodity boom terjadi," ujar Fakhrul dalam diskusi daring bertajuk "Menakar 9 Tahun Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Menjaga Inklusi Jasa Keuangan Indonesia" di Jakarta, Kamis.
Berdasarkan hasil survei OJK pada 2019, indeks inklusi keuangan di Indonesia telah mencapai 76,19 persen, meningkat dibandingkan survei sebelumnya pada 2016 67,8 persen dan telah melampaui target 75 persen yang ditetapkan dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI).
Baca juga: Ketersediaan internet penting bagi pendidikan dan inklusi keuangan
Menurut Fakhrul, hal yang mungkin dibutuhkan pasar keuangan dari OJK sendiri adalah bagaimana otoritas bisa mengakomodir melalui kebijakan-kebijakan yang bisa meningkatkan kemampuan pasar untuk menampung hasrat menabung masyarakat Indonesia yang makin tinggi.
"Hal yang harus kita antisipasi setelah naiknya inklusi keuangan pada saat ini, peningkatan tabungan masyarakat yang drastis itu butuh kemudahan-kemudahan untuk mengeluarkan instrumen baru. Mudah-mudahan dengan adanya kemudahan ini nanti kita bisa dapatkan perbaikan ekonomi dan juga dampak dari sektor keuangan kepada sektor riil akan semakin baik," kata Fakhrul.
Fakhrul menuturkan, kebijakan yang sebaiknya diambil oleh OJK dalam beberapa periode ke depan yaitu kebijakan mikro prudensial yang memberikan banyak kelonggaran terhadap terciptanya instrumen-instrumen investasi baru yang ada di masyarakat seiring dengan meningkatnya inklusi keuangan.
Baca juga: Presiden Jokowi: Kita masih punya PR besar tingkatkan inklusi keuangan
"Kondisi saat ini yang sedang terjadi di pasar modal kita adalah banyak nasabah baru, banyak calon investor baru mau masuk, kita saat ini di Indonesia kekurangan instrumen invetasi. Kita lihat di awa tahun depan itu adalah puncak dari kekurangan instrumen investasi," ujarnya.
Ia memaparkan, berdasarkan data level kas uang yang dimiliki oleh 50 perusahaan terbesar di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia, pada 2021 sebagian besar perusahaan-perusahaan yang rating korporasinya paling tinggi alias AAA, akan berada pada kondisi tidak butuh pendanaan.
"Ini akan membuat di kondisi likuiditas yang naik, inklusi keuangan yang naik, semakin banyaknya investor ritel masuk ke pasar modal indonesia itu, pasar keuangannya itu kurang barang. Astra yang biasanya lewat perusahaan multifinancenya ngeluarin corporate bond, tahun depan tidak butuh uang. Kita bisa lihat juga perbankan yang biasanya mengeluarkan obligasi yang nantinya dibeli investor, dengan mereka posisi kelebihan duit juga tidak butuh uang," kata Fakhrul.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020