Jakarta (ANTARA) - Seniman Entang Wiharso mengungkap kisah di balik karyanya selama dua tahun terakhir, termasuk "Promising Land Chapter 2" yang sebenarnya berelasi dengan karya-karyanya sejak 2009-2017.
"Promising Land Chapter 2" memuat lansekap fisik yakni risetnya pada kontur tanah, topografi, karakter, jenis populasi, tipikal objek dan artefak fisik serta sarana-prasarana sebuah tempat secara optikal di Amerika Serikat.
Baca juga: ISI kehilangan maestro dan seniman produktif Rahayu Supanggah
Baca juga: Seniman wanita Asia Tenggara tuangkan kehidupan digital lewat seni
Ada juga lansekap psiko-geografis yakni tafsir Entang tentang sebuah tempat khusus dan pengalaman personalnya. Dia berusaha menggambarkan ingatan komunal masyarakat Amerika Serikat dengan kode-kode visual dan menjadi perwakilan psikis masyarakat itu.
Dia menafsirkan lansekap fenomena, yakni sekumpulan peristiwa sejarah dengan usahanya menyingkap, terutama peristiwa-peristiwa khusus yang besar dan penting yang terjadi di Amerika pada masa lalu dan yang terkini. Kemudian dia mengaitkan pengalaman sangat personalnya.
Sebagai pendatang, dia tertarik pada sejarah Amerika Serikat mulai dari jejak-jejak Civil War, sejarah budaya dan seni, serta potensi traumatik tentang isi perbudakan masa lalu sekaligus rekonsiliasi sampai terbentuknya negara demokrasi itu.
Entang yang pernah berpartisipasi dalam Program fellowship dari John Simon Gugenheim Memorial Foundation pada Juni 2019-Juni 2020 di New York, Amerika Serikat, meneliti dengan pengalaman identitas personalnya, mengamati serta memahami lebih mendalam bagaimana sebuah tempat atau geografi sebuah lokasi berelasi dengan sejarah, topografi fisik sampai peristiwa-peristiwa fenomenal berkonteks politik.
Baca juga: Coach bareng dua seniman muda Indonesia rilis koleksi Art of Signature
Baca juga: Seniman jadikan pandemi sebagai momentum refleksi dan adaptasi
"Proyek yang disponsori oleh Yayasan Gugenheim saya visikan bisa terealisasi di masa depan dengan instalasi raksasa yang riil, yakni Tunnel of Light kelanjutan dari karya lama Temple of the Hope (2009-2011). Sebab saya telah membuat proyek penelitian panjang selama setahun dan kemudian hasilnya adalah presentasi visual model seperti yang kita saksikan dalam Bincang Virtual dan Presentasi Visual Desember ini," kata dia dalam siaran persnya, Kamis.
Lebih lanjut, di masa pandemi COVID-19, dia mengaku dituntun secara nalar sekaligus spiritual untuk memilah materi berkarya sembari terus membangun daya nalar kritis menghadapi hoaks di internet dan peristiwa-peristiwa mengerikan yang disiarkan saluran televisi privat di Amerika Serikat.
"Saya menemukan bentuk, struktur, warna, tekstur tanaman, kebun halaman belakang rumah sampai metafor yang kaya bahwa pandemi sembilan bulan adalah saat kita merenungi segala yang hingar-bingar di luar dengan hal-hal kecil yang sebenarnya indah, di dalam hati kita untuk berdamai tanpa menafikan kita terus menemukan apa yang terbaik bagi hidup kita. Kebun bagi saya adalah kepanjangan studio saya," papar Entang.
Karya-karya tentang pandemi COVID-19 pun lahir, salah satunya "City on The Move" (2019-2020) yang dia andaikan sebagai kota-kota di sepenjuru bumi terus saja berdetak walau di tengah wabah.
"Akhirnya dunia digital menjadi alat merefleksikan ide-ide saya saat ini. Bukan hanya masalah kenyamanan dan kebaruan tetapi teknologi digital membuka kemungkinan presentasi, mobilisasi dan kepemilikan yang berbeda," kata dia.
Selain itu, Entang juga menghadirkan karya lukisan digital, "Asian-American Thanksgiving Dinner" (2020) sebagai upayanya bereksperimen dengan media baru dalam keniscayaan dunia siber yang tak hanya sebagai instrumen atau alat penyampai pesan tapi juga penyebaran konten kritis kemungkinan-kemungkinan daya cipta visual baru saat ini.
"Asian American Thanksgiving Dinner menarasikan setelah pemilu keluarga Amerika akan menyambut tradisi yang penuh makna dengan spirit kekeluargaan, kehangatan, berbagi setelah marathon hidup mereka dari kekacauan, konflik, rasisme, social justice, kelaparan, wabah COVID-19, jutaan orang di PHK dan antrian berjam jam untuk makanan. Tradisi ini merujuk ratusan tahun yang lalu saat kaum pendatang (pilgrim) melakukan perayaan pasca panen dengan penduduk asli di Plymouth, Mass, 1621," kata Entang.
"Intinya Kaum kolonial Plymouth dan penduduk asli Wampanoag (native American) berbagi hasil panen, bergotong royong merayakan kesuksesan bercocok tanam pada musim gugur dan sekarang sebagai hari libur nasional Thanksgiving," sambung dia.
Karya ini merupakan refleksinya pada situasi sekaligus harapan pada hari besok akan lebih baik.
Baca juga: Entang Wiharso-Sally Smart "berdiskusi" lewat karya seni
Baca juga: Bincang-bincang dengan seniman Entang Wiharso
Baca juga: Seni pasca-Trump dan seniman kita
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2020