Kupang (ANTARA News) - Yayasan Peduli Timor Barat membentuk sebuah tim advokasi yang bertugas mempersiapkan tuntutan ganti rugi atas pencemaran Laut Timor yang diakibatkan oleh meledaknya sumur minyak Montara pada 21 Agustus 2009.

"Tuntutan ganti rugi ini akan kami tujukan kepada operator ladang minyak Montara PTTEP Australia," kata Ketua YPTB Ferdi Tanoni di Kupang, Rabu, setelah pembentukan tim advokasi pencemaran Laut Timor yang berlangsung di Jakarta, Selasa (18/5).

Ia menjelaskan tim advokasi tersebut terdiri atas pakar hukum laut, pakar hukum internasional, pakar oseanografi, pengacara, ahli bilogi, ahli geologi, ahli kimia, ekonom, sosiolog, antropolog dan para jurnalis.

Ia mengatakan mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur dr Hendrikus Fernandez dan mantan Wali Kota Administratif Kupang Messakh Amalo menjadi penasihat tim advokasi pencemaran Laut Timor.

Selain itu, kata Tanoni, ada Dr Felix Rebhung (ahli Biologi-Kimia dari Universitas Nusa Cendana Kupang), Dr Ariadi Subandrio, Dr Ikhsyat Syukur dan Dr Andang Bachtiar dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), peneliti LIPI Dr Ganewati Wuryandari serta David Jones, penasihat hukum dari AS yang berpengalaman menangani perkara tumpahan minyak di Louisiana, AS.

Kemudian Dr Hendrik Autapah, antropolog dari Universitas Nusa Cendana Kupang, Dr John King (antropolog dari Australia), Frans Tulung SH (pengacara asal Kupang), Heri Soba, Herman Jaya dan Solichin dari Ocean Watch Indonesia (OWI), ahli ekonomi pesisir dari IPB Bogor Prof Dr Ir Tridoyo Kusumasanto MS, pengamat hukum internasional dari Universitas Nusa Cendana Willem Wetan Songa SH.MHum dan Dr Chandra Motik dari Dewan Kelautan Indonesia dan Penasihat KSAL).

Selain itu, ekonom Faisal Basri, ahli geografi dan lingkungan dari Universitas Nusa Cendana Kupang Dr Johanes Kalau MS serta para jurnalis seperti Lorensius Molan (ANTARA), Frans Sarong dan Pascal bin Saju (Kompas), Jusac Riwu Rohi (Jawa Pos) dan Didimus Payong Dore dari SCTV.

"Saya memasukkan sejumlah pakar dan ahli dalam tim advokasi tersebut karena persoalan mengenai gugatan pencemaran Laut Timor merupakan pekerjaan yang besar," kata Tanoni.

Ia menambahkan tokoh masyarakat NTT yang wilayah perairannya terkena dampak pencemaran akan dilibatkan dalam tim advokasi tersebut.

Penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta" menambahkan YPTB juga sudah menunjuk dua orang penasihat hukum asal Australia, yakni Dr Philip Vincent dan Dr Christine Mason, untuk mengkoordinir para pakar lingkungan dan tokoh masyarakat di Australia dalam mendukung perjuangan YPTB.

"Sekitar 50 mahasiswa dari universitas di Australia Barat, Australia Utara dan Queensland juga menyatakan kesediaan bergabung dengan YPTB untuk memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakat NTT yang terkena dampak pencemaran tumpahan minyak Montara," katanya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ledakan sumur minyak Montara itu memuntahkan sekitar 500.000 liter minyak mentah, gas, kondensat dan zat timah hitam ke Laut Timor sejak 21 Agustus 2009.

"Ini merupakan bencana tumpahan minyak yang terbesar di dunia, bila dibandingkan dengan tumpahan minyak di Teluk Meksiko yang hanya 790 liter minyak mentah, gas, kondensat dan zat timah hitam per hari," katanya.

Jika ditakar, katanya, tumpahan minyak di Teluk Meksiko baru mencapai sekitar 26 juta liter jika sehari hanya 790 liter, sedang tumpahan minyak di Laut Timor mencapai 40 juta liter lebih.

"Atas dasar inilah, kami membentuk tim advokasi menuntut ganti rugi kepada operator ladang minyak Montara akibat meledaknya sumur minyak di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009," katanya dan mengharapkan dukungan dari semua pihak.

Ia menambahkan pihaknya masih melakukan konfirmasi dengan mantan KSAL Laksamana (Purn) Bernard Kent Sondakh, Dr Yety Dharmayati dari Pusat Oseanografi LIPI dan Henry Yosodiningrat, SH (Koordinator Tim Pengacara Komjen Pol Susno Duadji) untuk masuk dalam tim advokasi tersebut.
(L003/B010)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010