Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak harus berasal dari kepolisian, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Siaran pers ICW yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu, menyebutkan, dalam UU KPK sama sekali tidak ada menyebutkan penyidik KPK harus polisi, namun ini sangat berbeda dengan penuntut KPK yang harus berasal dari Kejaksaan seperti diatur Pasal 51 ayat (3) UU N0 30/2002.

Selain itu, ICW berpendapat bahwa penyidik tidaklah monopoli kepolisian karena setiap pimpinan KPK sendiri diberi kewenangan penyidikan.

Kewenangan tersebut dinilai bisa membantah secara tegas pendapat yang mengatakan penyidik harus dari kepolisian.

Dalam tataran praktik, menurut ICW, kewenangan penyidik tersebut tentu bisa dilaksanakan dan didelegasikan oleh staf atau pegawai yang direkrut sendiri oleh KPK.

LSM antikorupsi itu juga mengemukakan, baik UU KPK maupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak pernah mengatakan bahwa kepolisian adalah satu-satunya penyidik tindak pidana.

Bahkan beberapa lembaga seperti Ditjen Perpajakan, Kehutanan, Bea Cukai, Pertambangan, dan Lingkungan Hidup mengenal konsep Penyidik PPNS yang bukan dari kepolisian.

ICW menegaskan, UU KPK bersifat "lex specialis" sehingga penyidik di KPK bisa terpisah koordinasi dan pengawasan dengan pihak kepolisan.

ICW menilai, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen SDM KPK juga mengenal istilah pegawai tetap sehingga jika KPK mempunyai penyidik sendiri maka penyidik itu juga dapat dimasukkan dalam kategori pegawai tetap.

Untuk itu, ICW menilai tidak dibutuhkan revisi atau perubahan UU No 30/2002 untuk mengakomodasi ide penyidik independen KPK. (*)

M040/A011

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010