Jakarta (ANTARA News) - Islam tidak mengenal kekerasan, kata Abu Bakar Baasyir dengan suaranya yang parau dan berat sesaat setelah tujuh tersangka teroris ditangkap polisi di Markas Besar JAT, Pasar Minggu, Jakarta, pada 6 Mei.

Pria berusia 72 tahun itu melanjutkan, "Namun, jika ada gangguan yang dilancarkan musuh kepada Islam, kami berhak menggunakan kekerasan untuk melawannya. Itulah jihad."

Baasyir, yang selalu muncul ke publik dengan kemeja putih panjang longgar dan topi haji putih, menyebutkan, adakalanya jihad juga dilakukan tanpa kekerasan, seperti yang diajarkan organisasi pimpinannya, Jamaah Anshorut Tauhid (JAT).

"JAT dibentuk dalam rangka memberantas penyakit masyarakat, jihad dilakukan tanpa menggunakan senjata, kecuali ada penyerangan. Jadi, JAT bukan teroris," katanya,

Baasyir merupakan tokoh spiritual yang tidak pernah lepas dari tuduhan berkaitan dengan terorisme. Pria kurus berjanggut putih itu sebelumnya memimpin kelompok Islam yang dikenal militan, Jamaah Islamiyah.

Pondok pesantren yang didirikannya di Ngruki pun diduga kuat menjadi simpul jaringan kaum militan yang bermaksud mendirikan negara Islam di Asia Tenggara.

Jamaah Islamiyah dan sejumlah lulusan Ngruki pernah terlibat dalam setengah lusin pengeboman di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir.

Setelah hampir lima tahun Indonesia sepi dari aksi terorisme, pada medio 2009 hingga awal 2010, Detasemen Khusus 88 Mabes Polri kembali menggrebek sejumlah tempat yang diduga sarang teroris, berawal dari Provinsi Aceh hingga terakhir di Jakarta dan Jawa Tengah.

Berdasarkan penyelidikan, sasaran mereka tetap sama, yakni mendirikan negara Islam dan menyerang siapa pun yang tidak sejalan dengan cita-cita mereka, termasuk pejabat negara seperti Presiden.

"Motif dan sasaran mereka tetap sama. Mereka tergabung dalam kelompok kecil, namun memiliki jaringan kelompok radikal internasional," ungkap Kepala Desk Antiteror Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Ansyaad Mbai.

Hal senada diungkapkan Kepala Polri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri yang mengatakan, kegiatan teroris lintas batas masih berlangsung dan ideologi radikal masih terus berkembang, terlihat dari adanya muka-muka baru terkait terorisme.

Hingga kini, polisi telah menangkap hidup-hidup 58 orang di berbagai wilayah yang diduga teroris terlibat pelatihan militer di Aceh. Selain itu, 13 orang yang diduga teroris tewas ditembak setelah melawan saat ditangkap.

Dalam jumpa wartawan yang dihadiri Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto, Kapolri menyatakan kelompok teroris yang sempat berlatih militer di Pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar, mengalihkan pusat kegiataanya ke Jakarta dan Jawa Tengah, setelah beberapa pelaku teroris tertangkap.

"Targetnya Presiden, pejabat negara dan undangan VVIP pada saat peringatan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2010. Mereka ingin percepat mengganti negara demokrasi dengan syariat Islam," tutur Kapolri.

Kehilangan Momentum

Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia yakni sekitar 200 juta jiwa, atau 30 juta lebih banyak dari Pakistan yang menjadi negara berpenduduk Muslim kedua terbanyak.

Jumlah penduduk Muslim Indonesia hampir sama dengan dua pertiga jumlah penduduk di Timur Tengah.

Pada satu sisi, Indonesia adalah negara demokrasi yang tengah tumbuh pesat.

Dalam satu dasarwarsa lebih, Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar setelah India dan Amerika Serikat. "Dan mayoritas Muslim Indonesia adalah moderat," ungkap Ansyaad.

Demokrasi yang tumbuh pesat telah memberikan kebebasan bagi siapapun di Indonesia untuk berekspresi, termasuk kelompok radikal yang sebelumnya kerap dibungkam semasa Orde Baru pimpinan Soeharto.

Baasyir hanya seorang radikal yang dibungkam semasa Orde Baru, dan akhirnya mengasah pandangan ekstremnya di negara tetangga Malaysia. Bagi Baasyir, demokrasi tak bisa berdampingan dengan Islam.

Selama beberapa dasawarsa belakangan muslim Indonesia menjadi terbuka mengungkapkan identitasnya, ditandai dengan semakin luasnya pemakaian busana muslim dan penerapan peraturan yang diilhami syariah Islam. Sementara partai Islam pun tumbuh di mana-mana.

Keadan ini membuat sejumlah kalangan, khususnya dunia Barat, menilai kelompok militan pendukung Republik Islam makin mengalahkan suara mayoritas Muslim Indonesia yang berpendapat keimanan mereka hidup berdampingan dengan baik dan harmonis dengan kehidupan modern dan nilai-nilai demokrasi.

Padahal, Islam fundamentalis belum lama dikenal di Indonesia, sebaliknya sebelum ini Islam di Indonesia dikenal kalem sampai-sampai Barat menjuluki Islam di Indonesia sebagai Islam yang ramah (Smiling Islam).

Direktur Pelaksana International Center for Islam and Plularism Syafii Anwar mengatakan, Islam masuk ke Indonesia dengan baik pada abad 12 dan mampu menampung budaya serta agama yang telah ada sebelumnya.

Meski begitu, Islam tak menjadi agama negara di republik ini. Indonesia tetap negara kesatuan yang demokratis. Presiden pertama RI Soekarno mengatakan, jika Islam menjadi agama negara, maka kaum minoritas non-Muslim akan terkucil.

Kemudian, setelah era Soeharto yang mementingkan stabilitas keamanan dengan pemerintahan otoriter bergaya militer jatuh, membuat semakin kerasnya perpecahan antara pendukung Islam tradisional melawan pihak yang ingin menjadikan Islam murni dari nuansa regional.

Pertikaian tersebut masih terjadi hingga kini meski Islam di negeri ini terus menyatu dengan beragam tradisi dan kepercayaan pribumi.

Antropolog yang mempelajari politik Muslim Indonesia Robert W Hefner menilai, paham ekstrem Islam telah kehilangan momentum di Indonesia, namun bukan berarti sama sekali tidak menyerang.

Buktinya, ditanggakapnya sekitar 200 orang anggota Jamaah Islamiyah dalam lima tahun terakhir.

Bahkan belakangan tokoh utama serangkaian aksi teror di republik ini dilumpuhkan, seperti Dr Azhari, Noordin M Top dan Dulmatin.

Di samping itu, sebagian kaum radikal telah beralih mendukung penegakan hukum Islam.

Baasyir setelah bebas dari penjara pada 2006 mengambil jarak dengan Jamaah Islamiyah yang lebih militan, dan mulai perjuangan mendukung syariah Islam dengan tetap menuju Indonesia sebagai republik Islam.

Idelogi dan agama

Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menilai, serangkaian aksi teroris di Indonesia tidak semata masalah ideologi dan agama.

"Islam itu agama damai tidak menyukai kekerasan jika tidak terpaksa," tandasnya.

Dia melihat pemerintah lebih berupaya menindak terorisme, ketimbang mencegah secara komprehensif terorisme.

"Aparat hanya mengaitkan terorisme dengan ideologi dan agama, padahal penyebabnya tidak semata kedua hal itu," pandang Din.

Faktor non-ideologi dan agama seperti kemiskinan dan pengangguran sebenarnya juga banyak berperan dalam mendukung aksi teroris, ujar Din.

Hal senada dilontarkan Noor Huda Ismail, mantan santri Pondok Pesantren Ngruki.

"Korupsi di kalangan pejabat dan aparat negara yang terus terjadi, kesenjangan sosial yang tinggi, dan lainnya bisa menganggu keseimbangan Indonesia yang beragam," tutur pria berusia 36 tahun itu.

Menurutnya, jika pemerintah gagal menciptakan kesejahteraan rakyatnya, maka Jamaah Islamiyah dan kelompok militan lain dapat dengan mudah menarik mereka.

Lagi pula, kaum militan berpaham radikal akan tetap ada.

"Semakin kuat negara-negara barat yang sekuler menancapkan pengaruhnya, semakin lantang pula Islam bersuara. Begitu pun sebaliknya, ketika suara Islam terlalu nyaring, maka nyaring pula suara sekuler," kata Din.

Kondisi seperti itu, katanya, akan terus terjadi tak terkecuali di Indonesia yang memiliki beragam suku, agama, dan ras. (*)

R018/s018/AR09

Oleh Rini Utami
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010