Uang amplop dari narasumber pada tingkat tertentu dapat menimbulkan candu bagi Jurnalis, itu menandakan sebuah keadaan moral yang keropos, kata dia.
Selain mengancam independensi, lanjutnya, tak jarang Jurnalis yang terbiasa menerima amplop, kerap menjadikan narasumber sebagai obyek yang hanya sebatas dipandang dari segi uang atau fasilitas lain yang bisa mereka berikan.
"Narasumber tidak lagi dihargai sebagai subyek yang memberikan informasi, namun lebih pada persoalan seberapa besar uang lelah yang dia berikan pada wartawan, bahkan ada yang memakai cara pemerasan untuk mendapatkan uang," kata dia.
Namun dirinya tidak memungkiri, hal itu masih terkait dengan sistem pengupahan wartawan oleh media tempat bekerja, yang pada umumnya, masih terbilang minim.
"Gaji wartawan di Gorontalo misalnya, masih banyak yang berada di bawah satu juta rupiah, atau sistem kontrak," Kata dia.
Hal itu juga ditambah dengan sikap narasumber sendiri, yang masih membiasakan diri untuk memberikan uang amplop pada wartawan saat bertugas, dengan dalih, sebagai pengganti transportasi atau ongkos lelah.
"Mereka tak sadar, banyak wartawan yang akhirnya menjadi tergantung dengan hal itu," kata dia.
Dengan keadaan yang sedemikian kompleks itu, menurutnya dibutuhkan kreativitas wartawan, semisal dengan menjalankan usaha sampaingan yang tidak melanggar kode etik jurnalistik, sambil terus mengupayakan agar pekerjaannya mendapatkan upah yang layak. (SHS/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010