Bandung (ANTARA News) - Seorang tunanetra yang berprofesi sebagai guru, Mahendra Kuncoro, mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia setelah digugurkan dari status CPNS karena alasan kesehatan yaitu tidak bisa melihat.

Menyikapi kasus tersebut, Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Saharudin Daming SH, di Bandung, Senin, mengatakan, pihaknya telah melayangkan surat kepada Badan Kepegawaian Nasional (BKN).

"Kami juga mengimbau kepada mereka agar memberikan hak-hak kepada pengadu (Mahendra), sekaligus mengubah segala bentuk peraturan UU di lingkungan BKN, khususnya terkait dengan kepegawaian," ujar Saharudin. Hal itu dikemukakan Saharudin yang ditemui usai mengisi acara "Dialog Internatif Antara Komnas HAM dengan Penyandang Cacat" di Aula Wyata Guna Bandung.

Ia menjelaskan, Mahendra Kuncoro ialah seorang difabel asal Kendal, Jawa Tengah, yang berprofesi sebagai guru honorer dan mengajukan diri untuk menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Kabupaten Kendal pada tahun 2007.

Namun, kata Saharudin, setelah mengikuti tes masuk CPNS, Mahendra Kuncoro, dinyatakan gugur pada tahap tes uji kesehatan.

"Menurut Tim Penguji Kesehatan (TPK), Mahendra tidak memenuhi syarat untuk menjadi CPNS, pasalnya dia menyandang tuna netra. TPK menafsirkan, seorang tuna netra dianggap tidak berbadan sehat," kata Saharudin.

Ia menjelaskan, kejadian yang menimpa Mahendra Kuncoro, sangat bertentangan dengan pasal 11 dan pasal 86 Undang Undang No 22 tahun 2007 dan putusan Mahkamah Agung (MA) No 59 Tahun 2009.

"Di mana didalamnya ditegaskan bahwa cacat tidak identik dengan sakit," ujarnya.

Ia menyatakan, hingga bulan Mei 2010, pihaknya telah menerima 5 pengaduan khusus terkait dengan difabelitas dari berbagai wilayah, seperti dari Aceh dan Sulawesi Selatan
yang menyangkut pengaduan layanan perbankan.

"Kemudian ada tiga laporan sekaligus mengenai diskriminasi dalam pelayanan penerbangan," katanya Saharudin

Ia menuturkan, saat ini pengaduan dari para difabel dirasakan kurang, pada 2009 saja pihaknya hanya menerima sekitar 13 laporan.

Menurut dia, pengaduan tersebut masih sangat terbatas, karena banyak sekali difabelitas yang tidak memahami cara melakukan pengaduan.

"Kami tahu para difabel punya pendidikan rendah, apalagi untuk menulis pengaduan terkadang masih mengalami kesulitan. Namun kurangnya pengaduan juga terjadi karena faktor kepasrahan, ada yang menganggap hal yang dialami sudah menjadi takdir," katanya.(ANT/A038)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010