Jakarta, 17/5 (ANTARA) - Menurunnya hasil tangkapan sebagaimana yang kerap dikeluhkan oleh sebagian nelayan, umumnya disebabkan oleh menurunnya produktivitas sumberdaya kelautan seperti ikan dan biota laut lainnya. Selain disebabkan oleh penangkapan ikan berlebih (over fishing) dan cara pengambilan yang ilegal, menurunnya produktivitas sumberdaya kelautan juga dapat disebabkan oleh tercemarnya laut. Bukan saja limbah industri, akan tetapi limbah rumah tangga dan budidaya pertanian juga dapat menjadi penyebab menurunnya hasil tangkapan nelayan. Informasi tersebut disampaikan dalam seminar bertema Dampak Pencemaran Lingkungan Laut Terhadap Produktivitas Sumberdaya Kelautan di Hotel Redtop Jakarta hari Jum'at (14/5).

Dalam seminar yang diselenggarakan oleh Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) tersebut disampaikan bahwa salah satu jenis pencemaran yang terjadi di lingkungan laut adalah eutrofikasi atau meningkatnya jumlah nutrisi yang disebabkan oleh polutan. Nutrisi yang berlebihan tersebut umumnya berasal dari limbah industri, limbah domestik seperti deterjen, maupun aktivitas budidaya pertanian di daerah aliran sungai yang masuk ke laut. Akibat pencemaran ini biasanya ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan fitoplankton/algae yang berlebihan dan cenderung cepat membusuk. Fenomena ini kerap juga disebut dengan red tide. Efeknya adalah penurunan kadar oksigen serta meningkatnya kadar toksin yang menyebabkan matinya biota laut, penurunan kualitas air, serta tentunya menganggu kestabilan populasi organism laut.

Akibat lautan tertutup dengan algae pada saat berlimpah, maka matahari sulit untuk menembuh ke dasar laut dan pada akhirnya menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam laut. Selain itu, sebagian algae juga mengandung toksin atau racun yang dapat menyebabkan matinya ikan dan mengancam kesehatan manusia bahkan menyebabkan kematian apabila mengkonsumsi ikan yang mati tersebut. Tanpa adanya limbah, sebagai fenomena alam sesungguhnya meningkatnya pertumbuhan algae ini sangat jarang terjadi.

Kasus red tide telah banyak dilaporkan di Indonesia, misalnya yang terjadi di muara-muara sungai Teluk Jakarta tahun 1992, 1994, 1997, 2004, 2005, 2006; Ambon tahun 1994 dan 1997; perairan Cirebon-Indramayu tahun 2006 dan 2007, Selat Bali dan muara sungai di perairan pantai Bali Timur tahun 1994, 1998, 2003, 2007; Nusa Tenggara Timur tahun 1983, 1985, 1989. Meski kerap terjadi, inventarisasi terjadinya red tide di Indonesia sampai saat ini masih belum terdata dengan baik, termasuk kerugian yang dialami. Namun secara umum, kerugian secara ekonomi akibat dari red tide ini, adalah tangkapan nelayan yang menurun drastis, gagal panen para petambak udang dan bandeng, serta berkurangnya wisatawan karena pantai menjadi kotor dan bau oleh bangkai ikan. Mungkin kurangnya pendataan red tide ini disebabkan oleh kejadiannya yang hanya dalam waktu singkat.

Dalam rangka menanggulangi red tide sebagai bencana, beberapa lembaga Pemerintah dan institusi pendidikan telah melakukan penelitian meskipun masih dilakukan secara sporadis. Melihat kondisi tersebut, DEKIN menyelenggarakan forum konsultasi yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat umum, birokrat dan stakeholders mengenai efek dan pencemaran lingkungan, khususnya yang berdampak terjadinya Red Tide. Keluaran yang diharapkan dari seminar ini adalah membuka wacana dan pemahaman mengenai dampak Red Tide terhadap produktivitas sumber daya kelautan. Forum konsultasi yang membahas mengenai upaya penanggulangan dampak Red Tide direncanakan akan diisi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yasuwo Fukuyo (University of Tokyo), dan Dao Viet Ha (Institute of Oceanography, Vietnam).

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Dr. Soen'an H. Poernomo, M.Ed, Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, HP. 08161933911

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2010