Jika dulu tarkam adalah jalan memperpanjang silaturahmi dan pertemanan, kini fanatisme beraroma adu gengsi menjadi lebih kentara

Jakarta (ANTARA) - Pemain Bhayangkara Solo FC Saddil Ramdani dan pemain PSM Makassar Bayu Gatra sempat menjadi sorotan di media sosial beberapa waktu lalu karena tertangkap kamera hadir dalam pertandingan sepak bola antar kampung (Tarkam).

Ada yang melumrahkan tapi tak sedikit yang mengecam, bahkan caci maki terhadap dua pemain tersebut begitu mudahnya tertulis dalam lembaran beranda media sosial. Secara etik bermain tarkam memang tak pantas apalagi bagi seorang pemain profesional yang terikat klub.

Pemain profesional mendapat gaji yang pantas dari klub yang menaunginya, tentu memiliki kesepakatan-kesepakatan yang tak boleh dilanggar, seolah burung yang terjerat sangkar.

Namun, ada saja yang bisa lolos dan bermain sesuka hatinya termasuk tarkam. Untuk mengakalinya tarkam dianggap seolah wadah menjaga kebugaran. Padahal, bermain tarkam sangat rentan terkena cedera, yang tak sedikit membuat pemain harus menepi sangat lama bahkan permanen.

Faktor lapangan yang tak sesuai standar, potensi kericuhan usai pertandingan, hingga tak ada jaminan kesehatan apabila terkena cedera, mengintai para pemain setiap berlaga tarkam.

Kita pasti sepakat bahwa tarkam sangat "diharamkan" bagi para pemain profesional, tapi kita juga harus menyadari hingga batas tertentu untuk mewajarkan tarkam dalam kondisi yang tak ideal dan sangat terdesak seperti saat ini, saat liga resmi vakum terpenjara pandemi Covid-19.


Berikut: Liga yang vakum

Copyright © ANTARA 2020