Jakarta (ANTARA) - Sepulang dari perjalanan dinasnya di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu (25/11).
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu pun harus mengenakan rompi berwarna jingga setelah KPK menetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima uang sekitar Rp3,4 miliar terkait izin ekspor benur atau benih lobster dari sejumlah perusahaan. Uang itu tidak hanya digunakan oleh dirinya, melainkan istrinya IRD dan staf khususnya.
Edhy Prabowo pun mengakui kesalahannya dan telah meminta maaf kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra serta masyarakat Indonesia karena tindakannya itu.
Bahkan Edhy mengajukan pengunduran dirinya sebagai menteri KKP dan wakil ketua umum Partai Gerindra.
Meski sudah menyampaikan permohonan maafnya namun tindakan yang dilakukan Edhy Prabowo itu dianggap telah merusak nama Prabowo Subianto yang sudah menganggapnya sebagai "anak emas".
Kasus korupsi benur itu juga menjadi "tsunami" politik hubungan Presiden Jokowi dengan Prabowo Subianto yang sudah mesra.
"Kasus dugaan korupsi di KKP ini menjadi tsunami politik bagi partai Gerindra yang baru pertama kali masuk kabinet pemerintahan," kata Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo, di Jakarta, Sabtu (28/11).
Dugaan korupsi Edhy tersebut juga bisa mengganggu relasi politik Prabowo dan Jokowi yang baru terjalin manis usai bertarung dalam dua edisi pilpres, 2014 dan 2019.
Kasus OTT itu juga berdampak terhadap penurunan elektabilitas Gerindra yang saat ini berada diurutan kedua pemenang Pemilu 2019.
Tak hanya Gerindra, melainkan elektabilitas Prabowo Subianto yang digadang-gadang bakal maju menjadi calon presiden 2024 akan merosot.
"Peristiwa ini menjadi bahan pertimbangan publik untuk melakukan penilaian (assessment) terhadap integritas Gerindra yang kerap menggaungkan narasi antikorupsi sebagaimana yang dilontarkan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto," kata Karyono.
Baca juga: Saat benih lobster berubah menjadi koper
Degradasi kredibilitas Gerindra
Survei yang dilakukan Center for Political Communication Studies (CPCS) pada 11-20 November 2020 menunjukkan elektabilitas Partai Gerindra masih berada di urutan kedua setelah PDI Perjuangan.
Elektabilitas PDIP bergerak naik mencapai 30,4 persen, sementara Gerindra terus mengalami penurunan sejak Maret 2020 (14,5 persen), dan kini mencapai 13,2 persen.
Namun kasus korupsi Edhy Prabowo akan semakin mendegradasi kredibilitas dan integritas Gerindra di hadapan pemilihnya.
"Tercokoknya Edhy Prabowo oleh KPK dalam kasus benur semakin mendegradasi kredibilitas dan integritas Gerindra di hadapan pemilihnya," kata Direktur Eksekutif Romeo Strategic Research & Consulting (RSRC), Khoirul Umam, di Jakarta, Sabtu (28/11).
Seruan-seruan anti-korupsi yang sering dijadikan materi kampanye Prabowo seolah hanya isapan jempol belaka, karena kebetulan saat itu belum pernah kebagian jatah kue kekuasaan.
Faktanya, hanya butuh waktu satu tahun pemerintahan berjalan untuk membuktikan bagaimana sebenarnya kualitas, kredibilitas, dan integritas kader utama Gerindra saat menjadi pejabat publik di struktur pemerintahan.
Akhirnya, Gerindra mencatatkan salah satu kader utamanya sebagai pesakitan di rutan KPK.
Baca juga: Ketua KPK sebut kasus Edhy Prabowo tidak ada kaitannya dengan politik
Tamparan keras
Penangkapan Edhy Prabowo oleh KPK pun dinilai menjadi tamparan keras bagi Prabowo mengingat Edhy merupakan anak didiknya.
"Ini pelajaran besar sekaligus 'tabokan' besar bagi Prabowo sebagai bos besarnya Edhy Prabowo, bahwa ternyata mulut yang sudah berbusa-busa dengan mengatakan korupsi di Indonesia sudah stadium empat ternyata justru Edhy Prabowo anak buahnya dan asli didikan Prabowo sendiri justru menjadi menteri pertama di era jokowi yang terkena operasi tangkap tangan oleh KPK," kata mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono.
Sejak awal seharusnya Prabowo Subianto yang katanya ingin Indonesia bersih dari KKN mengingatkan dan melarang para kadernya dan keluarganya untuk memanfaatkan kekuasaan untuk berbisnis.
"Contoh saja izin ekspor lobster banyak yang diberi izin kepada perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan kader Gerindra dan keluarga. Tapi Prabowo justru mendiamkan saja dan bisu seribu bahasa," ujar Arief.
Maka Prabowo Subianto harus bertanggung jawab kepada masyarakat pemilih Gerindra atas ketidakmampuan menjaga disiplin para kadernya hingga berpotensi besar menghancurkan marwah partai.
Baca juga: Gerindra harap KPK tangani kasus Edhy Prabowo secara transparan
Minta maaf
DPP Partai Gerindra pun menyampaikan permohonan maafnya kepada Presiden Jokowi dan seluruh Kabinet Indonesia Maju atas peristiwa tertangkapnya Edhy Prabowo.
"Kepada Presiden Jokowi, Wapres KH. Ma'ruf Amin, dan seluruh kabinet Indonesia Maju, kami sampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian ini," kata Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani dalam video yang diunggah pada akun Twitter @Gerindra, di Jakarta, Jumat (27/11).
Gerindra pun percaya kasus yang menimpa Edhy Prabowo tidak akan mengganggu proses dan berjalannya pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.
Partainya pun menghormati upaya hukum yang dilakukan oleh KPK terhadap kader terbaiknya, Edhy Prabowo.
Namun, DPP Partai Gerindra berharap upaya pemberian bantuan hukum kepada tersangka juga dapat dihormati, agar asas hukum praduga tak bersalah tetap dijunjung tinggi dan dapat menjernihkan persoalan-persoalan yang disangkakan kepadanya.
"Kami percaya sepenuhnya kepada KPK dalam menangani masalah ini. Persoalan ini akan ditangani secara transparan, secara baik, secara cepat, dan pada akhirnya masyarakat dapat mengetahui persoalan ini secara jelas duduk masalahnya," ujar Muzani.
Diharapkan, asas hukum praduga tak bersalah tetap dihormati, tetap dijunjung tinggi, karena itu upaya untuk menyediakan bantuan hukum terhadap Edhy Prabowo harus dihormati sebagai upaya untuk menjernihkan persoalan-persoalan yang dituduhkan (kepada)-nya.
Baca juga: Kiara: Izin ekspor benih lobster bermasalah sejak awal
Tidak politisasi
Penangkapan yang dilakukan oleh KPK terhadap Edhy Prabowo dan stafnya itu tidak ada unsur politisasi.
"Kasus yang terjadi di KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) tentu adalah tindak pidana korupsi murni, tidak ada kaitannya dengan politik," ujar Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri di Jakarta, Sabtu.
Kasus Edhy tersebut bersifat perseorangan meskipun yang bersangkutan merupakan pengurus partai.
"Jadi, jangan kita diajak masuk ke dalam ranah politik. Kalau pun ada orang-orang yang terlibat dan dia merupakan pengurus partai, tetapi terkait kasus tindak pidana adalah berlaku orang per orang," katanya.
Memang Pemilu selanjutnya akan digelar empat tahun lagi, namun perlu ada upaya dari Gerindra untuk mendapatkan kepercayaan publik kembali. Terlebih, Prabowo Subianto digadang-gadang akan maju di Pilpres 2024.
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020