Menurut Abbas, pelayanan calling visa untuk WNA Israel bertentangan dengan arah politik luar negeri Indonesia, yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945.
"Pemerintah mau kemanakan prinsip politik luar negeri yang telah diletakkan oleh para pendiri negeri ini, yang sudah kita sepakati untuk menjadi jiwa dan roh dari konstitusi negeri ini, seperti yang terdapat pada alinea pertama pembukaan UUD 1945," ujar Abbas, di Jakarta, Minggu.
Baca juga: Ditjen Imigrasi mulai buka pelayanan calling visa bagi WNA tertentu
Lebih lanjut, dia mengatakan tidak mempermasalahkan pemberian pelayanan calling visa untuk warga negara asing yang kondisi atau keadaan negaranya dinilai mempunyai tingkat kerawanan tertentu ditinjau dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara, dan aspek keimigrasian.
"Afghanistan, Guinea, Korea Utara, Kamerun, Liberia, Somalia, dan Nigeria, menurut saya tidak ada masalah karena tidak ada yang dilakukan negara tersebut yang bertentangan dengan konstitusi kita. Tapi kalau calling visa itu untuk warga negara Israel, bagi saya hal itu jelas bermasalah," kata Abbas.
Masalah utamanya, kata dia, karena Israel kerap menjadi negara yang memulai perang dan itu sangat bertentangan dengan Indonesia yang ingin menghapuskan penjajahan di atas dunia dengan menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan.
Baca juga: Agen wisata Pakistan sambut baik keputusan Indonesia cabut calling visa
"Negara Israel itu negara penjajah yang telah teramat banyak melakukan tindakan yang sangat bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Sehingga rakyat Palestina, saudara kita yang setia, telah kehilangan tanah airnya dan kehilangan kedaulatannya sebagai individu, sebagai warga negara, dan sebagai bangsa," kata dia.
Menurut dia, pelayanan calling visa itu diberikan dengan tujuan ekonomi, yaitu meningkatkan investasi. Karena itu, ia meminta agar tujuan tersebut hendaknya mempertimbangkan prinsip-prinsip Republik Indonesia yang selama ini dijunjung tinggi di tengah kehidupan bangsa-bangsa di dunia yang mulai kehilangan arah saat ini.
"Kita harus bisa tampil menjadi bangsa yang memiliki jati diri, yang menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan. Sehingga kita akan bisa menjadi guru bagi bangsa-bangsa lain di dunia saat ini, yang telah kita lihat, benar-benar telah sangat pragmatis dan sudah kehilangan orientasi," kata dia.
Baca juga: Kemarin, netralitas polisi di Pilkada hingga layanan calling visa
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020