"Saya kira kita (Eropa) justru harus belajar dari Indonesia mengenai cara membawa seluruh perbedaan itu menjadi satu," kata Walesa saat memberikan "presidential lecture" di Istana Negara, Rabu.
Melalui penerjemah, peraih Nobel Perdamaian 1983 yang berbicara dalam bahasa nasionalnya itu mengatakan bahwa Indonesia adalah negara besar yang memiliki banyak pulau dan budaya namun mampu menjaga persatuan dan kesatuannya selama ini.
Sementara itu, lanjut dia, Eropa adalah sebuah benua yang terdiri dari berbagai macam negara yang pernah saling berhadapan sebagai musuh di masa lalu namun kini sedang mencoba menghilangkan sekat-sekat perbedaannya.
"Di Eropa kita melihat dunia baru dengan hilangnya batas-batas. Kita sama satu sama lain, tidak ada yang lebih dari yang lain. Tetapi ini baru mulai, memerlukan proses," katanya.
Saat menjawab pertanyaan mengenai belum dipenuhinya permintaan Turki menjadi anggota Uni Eropa, Walesa mengatakan bahwa saat ini Turki telah menjadi bagian Uni Eropa apabila dilihat dari sisi keterhubungan namun di beberapa hal lain memang belum.
"Mungkin nanti karena tidak ada Eropa tanpa Turki," katanya.
Sebelumnya Juru bicara presiden Dino Patti Djalal mengatakan bahwa cara terbaik bagi Uni Eropa untuk menunjukkan pengakuan keberagaman adalah dengan menerima negara sekuler muslim Turki sebagai anggotanya.
Walesa yang melakukan lawatan 10 hari ke Indonesia sejak 8 Mei lalu memberikan "presidential lecture" dengan tema "Lessons from Democratic Changes in Poland and Eastern Europe and Their Implication for the New World of 21 Century".
Di antara lawatannya di Jakarta, Yogyakarta dan Bali, Walesa yang kini memimpin Institut Lech Walesa, menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Bali Democracy Institute di Universitas Udayana, Denpasar.
Institut Lech Walesa telah menjalin kerja sama serupa dengan berbagai organisasi di Eropa dan Amerika Serikat dalam upaya untuk mendorong demokrasi.
Lech Walesa adalah peraih Nobel Perdamaian tahun 1983 saat Polandia masih dikuasai rezim komunis yang bersekutu dengan Uni Soviet.
Pemerintah Polandia menandatangani satu perjanjian yang antara lain mengizinkan kegiatan serikat buruh independen dan menghentikan tindakan pengekangan maupun tekanan-tekanan terhadap anggota oposisi pro-demokrasi pada 31 Agustus 1980.
Dampak dari perjanjian itu, untuk pertama kali terbentuk suatu organisasi demokratik besar, Serikat Buruh Independen dan Bebas Solidarnosc (Solidaritas), di blok negara-negara komunis, dengan Lech Walesa sebagai pemimpinnya. Namun hal itu tak berlangsung lama.
Rezim Komunis Soviet dan Pemerintah Polandia yang sehaluan tidak senang dengan berbagai kegiatan kelompok-kelompok independen termasuk Solidarnosc. Pada 13 Desember 1981 Pemerintah Polandia mengumumkan status negara dalam keadaan perang.
G003/A041
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010