Tahun ini (2020) agak istimewa karena kelihatannya konsumsi gula menurun akibat adanya pandemi
Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta berharap kebijakan yang ada dapat mengatasi hambatan nontarif yang dinilai sebagai salah satu penyebab tingginya harga gula di dalam negeri.
"Implementasi hambatan nontarif atau non-tariff measures (NTM) pada tata niaga gula menjadi salah satu kontributor pada tingginya harga gula di dalam negeri," katanya dalam rilis di Jakarta, Jumat.
Baca juga: AGRI sarankan pemerintah permudah birokrasi impor gula mentah
Padahal, menurut Felippa, sebagai salah satu komoditas pokok, produksi gula oleh petani tebu dalam negeri dinilai belum mampu untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Namun, di saat yang bersamaan, lanjutnya, impor gula juga diatur secara ketat dengan berbagai ketentuan.
Berdasarkan data UNCTAD 2020, terdapat 55 NTM mulai dari pemeriksaan prapengapalan, tindakan pengendalian kuantitas dan harga, tindakan sanitasi dan fitosanitasi, serta hambatan teknis perdagangan untuk gula.
"Meski industri gula dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, impor gula di Indonesia diatur secara ketat. Impor gula diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Gula. Dalam regulasi tersebut, Kementerian Perdagangan mengizinkan impor gula hanya untuk memenuhi kebutuhan industri, memenuhi stok gula nasional dan menstabilkan harga," katanya.
Ia mengemukakan negara mengizinkan sektor swasta untuk mengimpor gula, tetapi hanya gula mentah dan rafinasi untuk keperluan industri dan pemurnian.
Impor gula putih untuk konsumsi rumah tangga merupakan urusan BUMN, meski ketentuan tersebut memungkinkan lebih banyak partisipasi sektor swasta.
Ia mengingatkan, dari 2018 hingga 2020, jumlah populasi di Indonesia meningkat sebesar 2,28 persen atau sekitar 6,051 juta penduduk.
Pada periode yang sama, lanjutnya, total konsumsi gula juga meningkat sebesar 95.000 ton dari 12,6 kilogram per kapita per tahun menjadi 13 kilogram per kapita per tahun, menjadi total 7,18 juta ton.
Sebelumnya, pemerintah dan dunia usaha masih menghitung angka pasti stok gula nasional pada akhir 2020 yang menjadi dasar penentuan rencana pemenuhan kebutuhan gula pada 2021.
"Stok gula akhir tahun 2020 akan menjadi saldo awal dari neraca gula tahun 2021," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat.
Menurut dia, setelah mengetahui stok akhir tahun baru dihitung berapa jumlah produksi dalam negeri dan seberapa besar kebutuhan gula nasional.
"Dari situ akan ditentukan bagaimana pemenuhannya, apakah bisa mencukupi dari produksi dalam negeri atau harus impor. Selama ini untuk memenuhi kebutuhan nasional biasanya lewat impor," ujar Budi.
AGI memperkirakan jumlah stok gula pada akhir 2020 mencapai 1,4 juta ton. Sementara, Kementerian Pertanian memperkirakan 1,7 juta ton, sedangkan menurut perhitungan Kementerian Perdagangan stok akhir tahun mencapai 900 ribu ton.
Adapun total produksi gula dalam negeri tahun 2020 diperkirakan mencapai 2,2 juta hingga 2,5 juta ton, dengan kebutuhan konsumsi mencapai 3 juta ton.
"Tahun ini (2020) agak istimewa karena kelihatannya konsumsi gula menurun akibat adanya pandemi. Realisasinya hanya di kisaran 2,7 juta ton," ujarnya.
Baca juga: Pemerintah dan dunia usaha masih menghitung stok gula akhir tahun
Baca juga: Swasta tertarik investasi industri gula di Kalbar
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020