Merefleksi pada kejadian 'apartheid' di Afrika Selatan dan tindak pidana genosida Rwanda maka tindak kejahatan demikian diawali dengan berbagai peristiwa yang mengarah pada 'hatred' yang bereskalasi menjadi 'hate crimes'.Surabaya (ANTARA) - Peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Puham) Universitas Surabaya Dian Noeswantari menilai video viral yang menampilkan sejumlah pendukung salah satu peserta pilkada dengan menjelakkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini masuk ujaran kebencian.
Dian Noeswantari di Surabaya, Jumat, mengatakan bahwa ihwal ujaran kebencian ini telah dimuat dalam Pasal 19 Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015.
"Ujaran kebencian atau hatred ini jika dibiarkan terjadi terus-menerus, akan bertumbuh menjadi hate crime atau kejahatan yang tergolong dalam tindak pidana kebencian, yang masih belum ada kodifikasinya dalam sistem hukum di Indonesia," katanya menjelaskan.
Diketahui video berdurasi 19 detik yang menampilkan sejumlah pendukung Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya Machfud Arifin dan Mujiaman menyanyikan yel-yel "Hancurkan Risma" viral di media sosial. Risma yang dimaksud adalah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Baca juga: Tagar #BelaBuRisma jadi "trending topic" di media sosial
Menurut Dian, video itu menunjukkan telah terjadi ujaran kebencian yang dilakukan pendukung Machfud Arifin terhadap Risma.
Dalam Pasal 19 Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, kata dia, diatur sejumlah hal, yakni: pertama, setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan.
Kedua, setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi dan hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apapun, tanpa memandang batas negara, baik secara lisan, tertulis atau cetak, dalam bentuk seni, maupun melalui media lain yang dipilihnya.
Ketiga, pelaksanaan hak yang diatur dalam ayat (2) pasal ini disertai dengan tugas dan tanggung jawab khusus.
"Oleh karena itu, pelaksanaan hak ini tunduk pada batasan tertentu, sebagaimana ditentukan oleh hukum dan harus menghormati hak atau reputasi orang lain, melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum (ordre public), atau kesehatan atau moral masyarakat," kata Dian.
Merefleksi pada kejadian apartheid di Afrika Selatan dan tindak pidana genosida Rwanda, kata dia, maka tindak kejahatan demikian diawali dengan berbagai peristiwa yang mengarah pada hatred yang bereskalasi menjadi hate crimes.
"Hal itu memuncak pada terjadi tindak pidana rasial atau apartheid di Afrika Selatan dan tindak pidana kejahatan atas kemanusian, genosida di Rwanda," kata anggota SEPAHAM Indonesia (Serikat Pengajar/Peneliti HAM) tersebut.
Baca juga: Puluhan emak-emak di Surabaya gelar aksi bela Wali Kota Risma
Oleh karena itu, lanjut dia, aparat kepolisian perlu bertindak cepat agar tidak terjadi kejadian serupa di Afrika Selatan atau Rwanda.
Menurut dia, meskipun kebebasan berekspresi dan berpendapat dijamin oleh Negara, pelaksanaannya tetap harus menghormati hak atau reputasi orang lain, serta melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan, atau moral masyarakat.
"Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia yang multikultur, pemerintah dan aparat kepolisian perlu bertindak cepat dan tegas untuk menangani ujaran demikian agar tidak meluas dan menjadi tindak pidana kejahatan ujaran kebencian," katanya.
Pewarta: Abdul Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020