"Mayoritas publik setuju perubahan ketentuan agar presiden menjabat cukup satu periode saja selama tujuh tahun," kata Direktur Eksekutif CPCS Tri Okta SK dalam siaran pers, di Jakarta, Rabu.
Okta menyebutkan sebanyak 86,3 persen menyatakan setuju usulan perubahan masa jabatan Presiden tersebut, sementara yang tidak setuju hanya 13,7 persen.
Baca juga: Akademisi: Penambahan masa jabatan presiden perlu kajian mendalam
Menurut dia, ketentuan tentang masa jabatan presiden menarik untuk dicermati, ketika zaman Orde Baru pernah ada amendemen terhadap UUD 1945 yang tidak membatasi periode presiden boleh menjabat sehingga Presiden Soeharto bisa berkuasa sampai 32 tahun.
Adagium bahwa "power tends to corrupt" pun terjadi, kata dia, yang membuat Soeharto dilengserkan melalui gerakan reformasi yang menentang praktik-praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Arus demokratisasi menghasilkan desakan agar masa jabatan presiden dibatasi hanya boleh paling lama dua periode, setelah itu tidak boleh lagi dicalonkan.
Sejak amandemen tersebut, Indonesia memiliki dua presiden yang menjabat dua periode berturut-turut, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi).
Baca juga: Akademisi: Menambah masa jabatan presiden buka ruang otoritarianisme
Keinginan untuk meninjau kembali ketentuan tentang masa jabatan presiden tetap terbuka, lanjut dia, seperti sebagian pendukung Jokowi menginginkan batasan dua periode dihapus, diganti menjadi tiga periode agar fondasi pembangunan yang sedang diletakkan tuntas dan bisa membawa Indonesia menjadi negara maju.
Namun, kata Okta, kalangan yang tidak setuju mengkhawatirkan kecenderungan otoritarianisme jika pemimpin terlalu lama berkuasa. Bahkan, ingin agar presiden cukup menjabat satu periode saja.
Ia mengatakan jalan tengah yang bisa menjadi kompromi adalah masa jabatan presiden dibatasi cukup satu periode saja, tetapi lama periodenya diubah menjadi tujuh tahun.
Dengan demikian, kata Okta, presiden bisa punya cukup waktu untuk menyelesaikan program-programnya, lalu tidak disibukkan untuk memikirkan bagaimana caranya maju mencalonkan diri kembali.
Baca juga: Ahli sebut wacana penambahan masa jabatan presiden tak mendasar
Akan tetapi, kata dia, perdebatan tentang konsep periode masa jabatan presiden masih menjadi konsumsi publik secara terbatas karena temuan survei itu bahwa hanya 17,6 persen publik yang mengetahui usulan perubahan masa jabatan presiden menjadi cukup satu periode saja selama tujuh tahun, sementara 82,4 persen tidak tahu.
"Para elite politik, akademisi, dan tokoh bangsa diharapkan mempertimbangkan opini publik tersebut, sekaligus membuka wacana tersebut seluas-luasnya agar publik mengetahui serta bersuara," kata Okta.
Survei CPCS dilakukan pada 11-20 November 2020, dengan jumlah responden 1.200 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia, melalui sambungan telepon terhadap responden yang dipilih secara acak dari survei sebelumnya sejak 2019.
"Margin of error" survei sebesar kurang lebih 2,9 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020