Makassar (ANTARA News) - Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu mengatakan, pemanfaatan nuklir sebagai energi listrik tinggal menunggu kemauan politik.
"Usulan ini sudah diketahui pemerintah dan tengah dipikirkan bagaimana mengubah persepsi ketakutan masyarakat terhadap penggunaan nuklir sebagai sumber energi," ujarnya di Makassar, Jumat.
Menurutnya, semua variabel tentang penggunaan energi nuklir dapat dikendalikan sebagai solusi murah dan aman untuk menyelamatkan ekonomi.
Ia mengatakan, tidak elok jika Indonesia terus-menerus memilih membakar batu bara, minyak yang menghasilkan karbon.
"Nuklir hanya bisa menghasilkan energi tidak menghasilkan karbon seperti sumber energi yang digunakan selama ini," katanya sambil mencontohkan, Amerika tidak pernah menggunakan potensi batu bara yang dimilikinya.
Dalam sejarah, lanjutnya, kecelakaan nuklir terbesar adalah peristiwa "Chernobyl" yang menyebabkan 80 orang meninggal.
"Jika dibandingkan dengan tingkat kecelakaan motor saat hari raya yang bisa mencapai 70 ribu korban meninggal tentu tidak logis jika kita takut menggunakan nuklir," ujarnya.
Kenyataannya, katanya, sudah hampir seluruh negara menggunakan nuklir sebagai sumber energinya, termasuk Malaysia yang akan mulai menerapkannya pada 2012.
"Pembangkit listrik nuklir terkecil bisa menghasilkan 1.000 megawatt. Nilai investasinya, senilai 1.000-1.200 dolar Amerika Serikat per kwh sudah bisa bertahan 40 tahun. Sementara batu bara hanya 20 tahun," jelasnya.
Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo mengatakan, Sulsel menargetkan minimal tahun ini memiliki pasokan daya listrik tambahan hingga 80 megawatt dan 2011 ditargetkan dapat surplus hingga 120 megawatt.
"Saya kira sudah banyak yang bisa menjadi contoh kebaikan pemanfaatan energi nuklir, banyak negara sudah menggunakannya. Tidak terlalu salah jika kita memanfaatkan itu," ujarnya.
Meski demikian, menurutnya hal ini masih membutuhkan kajian yang mendalam. Ia optimistis, ahli-ahli yang dimiliki Sulsel dapat menelitinya secara detil tentang efek yang ditimbulkannya. (RY/K004)
Pewarta: Ricka Oktaviandini
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010