Khartoum (ANTARA News/AFP) - Dua prajurit penjaga perdamaian Mesir yang bertugas untuk misi gabungan PBB-Uni Afrika di Darfur (UNAMID) tewas dalam serangan Jumat, kata seorang pejabat misi itu kepada AFP.

UNAMID menyebut serangan itu sebagai "kejahatan perang".

Tiga warga lain Mesir yang bersama mereka terluka parah ketika konvoi mereka diserang di wilayah Sudan barat yang dilanda perang itu, kata kepala bagian komunikasi UNAMID Kemal Saiki kepada AFP.

Saiki, yang membacakan sebuah pernyataan, mengatakan, korban-korban itu berada dalam konvoi UNAMID ketika mereka diserang tembakan di Darfur Selatan pada pagi hari oleh orang-orang bersenjata yang tidak dikenal.

"Hari ini sekitar pukul 11.30 (pukul 21.30 WIB) sebuah konvoi militer pasukan Mesir UNAMID, dengan tiga kendaraan dan 20 personel, diserang dekat desa Katila, 85 kilometer sebelah selatan Edd al-Fursan, Darfur Selatan, oleh sekelompok orang bersenjata yang tidak dikenal yang melepaskan tembakan secara membabi-buta, tanpa peringatan, pada pasukan penjaga perdamaian," katanya.

"Penyerang melarikan diri ketika konvoi itu melepaskan tembakan balasan. Serangan itu menewaskan dua prajurit penjaga perdamaian dan melukai serius tiga orang," tambahnya.

Utusan khusus UNAMID Ibrahim Gambari mengungkapkan amarah atas serangan pengecut itu, kata pernyataan itu.

Misi gabungan PBB-Uni Afrika itu mendesak pemerintah Sudan segera menangkap dan mengadili pelaku, dan mengingatkan semua pihak bahwa serangan terhadap pasukan penjaga perdamaian merupakan kejahatan perang.

Dengan kematian terakhir itu, jumlah anggota UNAMID yang tewas menjadi 24 di Darfur sejak pasukan itu ditempatkan pada Januari 2008.

Sejak penempatan itu, personel-personel UNAMID menjadi sasaran penculikan dan serangan-serangan mematikan.

Selain UNAMID, pekerja bantuan internasional juga menjadi korban penculikan di wilayah tersebut.

Sandera asing terakhir di Darfur, seorang pegawai Palang Merah, dibebaskan bulan Maret setelah ditahan penculik selama 147 hari.

Pekerja-pekerja bantuan di Sudan barat berharap pembebasan itu akan menandai berakhirnya penculikan, yang telah membatasi kemampuan mereka untuk membantu lebih dari dua juta orang Darfur yang menyelamatkan diri dari pertempuran dan mencari perlindungan dan makanan di kamp-kamp yang menyedihkan.

Gauthier Lefevre (35), yang bekerja untuk Komite Internasional Palang Merah (ICRC) selama lima tahun -- 15 bulan diantaranya di Darfur -- sedang melakukan perjalanan dalam konvoi dua kendaraan yang bertanda jelas ICRC ketika ia diculik oleh orang-orang bersenjata di dekat perbatasan Chad pada 22 Oktober.

Ia tercatat menghabiskan waktu terlama dalam penyanderaan -- 147 hari -- sejak gelombang penculikan pekerja asing mulai terjadi pada Maret tahun lalu.

Penculikan-penculikan itu terjadi setelah pengadilan internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Presiden Sudan Omar Hassan al-Beshir karena kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur, Sudan barat.

Ketegangan meningkat di Sudan setelah Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) pada 4 Maret memerintahkan penangkapan terhadap Beshir.

Jurubicara ICC Laurence Blairon mengatakan kepada wartawan di pengadilan yang berlokasi di Den Haag, surat perintah penangkapan terhadap Beshir itu berisikan tujuh tuduhan -- lima kejahatan atas kemanusiaan dan dua kejahatan perang.

Sudan bereaksi dengan mengusir 13 organisasi bantuan dengan mengatakan, mereka telah membantu pengadilan internasional di Den Haag itu, namun tuduhan tersebut dibantah oleh kelompok-kelompok bantuan itu.

Sejumlah pejabat PBB yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan, pengusiran badan-badan bantuan itu memiliki dampak yang sangat merugikan bagi rakyat Darfur.

Para ahli internasional mengatakan, pertempuran enam tahun di Darfur telah menewaskan 200.000 orang dan lebih dari 2,7 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka. Khartoum mengatakan, hanya 10.000 orang tewas.

PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur, pada 2003, ketika pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan kekuasaan. (M014/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010