Jakarta (ANTARA News) - Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, dalam waktu dekat pemerintah akan meluncurkan program pendidikan anak harapan, sehingga ke depan diharapkan tak ada lagi anak-anak marjinal tak tersentuh pendidikan.
Pendidikan ini berbasis asrama, sehingga konsepnya pun menyerupai pendidikan Pondok Pesantren (Ponpes), kata Suryadharma Ali di hadapan peserta Kongres Umat Islam Indonesia V di Wisma Haji Pondok Gede Jakarta, Jumat malam.
Menag dan Mendiknas Mohammad Nuh hadir dalam dialog yang dipandu Tuty Alawiyah dan berlangsung hingga larut malam.
Menag mengatakan, program pendidikan anak harapan itu kini tengah dimatangkan. Tujuan dari program tersebut merupakan salah satu solusi mengentaskan kemiskinan, mengingat anak-anak didik berasal dari anak jalanan yang orang tuanya secara ekonomi tak memiliki kemampuan.
Yang lebih penting adalah meningkatkan partisipasi pendidikan dan memberi harapan besar kepada anak didik untuk memperbaiki kualitas hidup mereka, katanya.
Ia menjelaskan, jika program ini dapat berjalan diharapkan anak jalanan dapat terhindar dari tindak kekerasan dan pelecehan seksual.
Sebelumnya ia menjelaskan bahwa pendidikan bagi anak harus dipandang sebagai kewajiban dan tak mengenal diskriminasi. Karena itu pula keberhasilan pendidikan harus pula memiliki tolak ukur yang jelas. Salah satunya adalah melalui ujian nasional (UN) yang belum lama ini berlangsung dan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Ada yang memandang UN tak perlu, tapi ada yang menganggap penting sebagai "pintu masuk" mengukur keberhasilan program pendidikan secara nasional.
"Jika tak ada tolok ukurnya dan hanya diberikan surat tanda tamat belajar, lalu bagaimana mengetahui pendidikan itu punya nilai kompetitif," tanya Suryadharma Ali.
"Jadi, UN penting sebagai tolok ukur keberhasilan anak didik," tegasnya.
Mendiknas Muhammad Nuh menjelaskan, UN dimaksudkan untuk menentukan sejauh mana standar kualitas pendidikan yang dimiliki. Jadi, UN merupakan pintu masuk untuk melakukan perbaikan pendidikan. Banyak kecurangan yang terjadi selama pelaksanaan UN. Tapi, jangan salahkan UN karena di situ terkait antara kejujuran dan prestasi.
Ia mengakui hasil UN banyak menimbulkan kekecewaan. Terutama bagi yang menolak diselenggarakannya UN itu. Terlebih bagi yang gagal dan bahkan sampai satu sekolah tak lulus.
Padahal, dengan kegagalan itu menjadi kewajiban semua pihak untuk melakukan perbaikan bersama. Termasuk pemerintah dengan mengintervensi di lembaga pendidikan bersangkutan, katanya.
"Ini harus diperbaiki. Ada apa di lembaga pendidikan itu," ia menjelaskan.
Pendidikan harus dilaksanakan dengan paksa. Perbaikannya juga demikian. "Paksa di sini harap dibaca dengan tanda kutip, sehingga semua pihak ikut memiliki tanggung jawab," katanya.
Dengan demikian, sekitar 55 juta siswa dan 2,6 juta tenaga guru yang ada saat ini harus memacu diri meningkatkan kualitasnya, kata Nuh.
Nuh juga mengaku kaget bahwa ada sekolah ketika UN berlangsung satu sekolah tak lulus semua. Setelah diteliti, siswa menjawab dengan jawab benar sama seluruhnya. Juga dalam terlihat dalam lembar jawaban memberikan tanda salah sama bagi seluruh siswa.
Ini pasti ada yang meracuni anak-anak dengan kunci jawaban yang salah, sehingga satu sekolah tak lulus. Karena itu, ia mengimbau agar orangtua siswa pun ikut memberi penyadaran terhadap anak. Peristiwa itu terjadi akibat degradasi karakter.
"Jadi, pendidikan berkarakter bagi siswa di masa datang juga menjadi penting," kata Nuh. (E001/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010