Prosesi ritual budaya oleh para seniman petani komunitas itu yang juga didukung para pegiat seni dari sejumlah sanggar di Kota Magelang itu, Rabu, dimulai dari Pendapa Sasana Pamardi Budaya Kampung Meteseh, Kota Magelang yang dikelola dalang setempat, Susilo Anggoro.
Mereka dengan menggunakan berbagai kostum kesenian dan pakaian adat Jawa berjalan kaki dari pendapa tersebut menuju Sungai Progo berjarak sekitar 400 meter.
Beberapa seniman lainnya yang ikut prosesi budaya dengan menerapkan protokol kesehatan, antara lain terkait dengan penggunaan masker itu, antara lain dari Sanggar Srikandi (pimpinan Lyra de Blaw) dan Sanggar Arum Sari (pimpinan Sri Rumsari Listyorini).
Baca juga: Pandemi tranformasikan wadak ke batin Komunitas Lima Gunung
Para tokoh dan seniman Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang yang terlibat dalam acara seni budaya tersebut, antara lain Sutanto Mendut (budayawan dan pendiri komunitas), Supadi Haryanto (ketua), Riyadi, Ismanto, Sujono Bandongan, Pangadi, Sih Agung Prasetyo, Singgih Aljawi, Nabila Rivani, Khoirul Mutaqin, Agus, dan Handoko.
Kekidungan dan suluk dikumandangkan mereka dengan iringan bunyi perkusi serta bende dalam prosesi. Mereka juga menaburkan kembang mawar dalam prosesi dan melarung properti berupa dua sosok wayang berwujud dedemit sebagai simbol "sengkala" di Sungai Progo.
Susilo Anggoro yang juga Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kota Magelang itu, di tepi Sungai Progo, juga melakukan pemotongan secara simbolis rambut lima putri, lalu memasukkan ke periuk untuk kemudian dilarung di kali tersebut.
Para seniman dengan mengambil tempat di atas bebatuan besar Sungai Progo melakukan performa gerak selama beberapa waktu berlangsung ritual budaya "Donga Kali, Larung Sengkala" di tempat dengan cuaca terlihat cerah itu.
Baca juga: "Tapak Jaran Sembrani" kirim efikasi budaya hadapi pandemi
Supadi Haryanto mengatakan prosesi itu selain sebagai ungkapan kebersamaan para seniman, juga doa dan harapan agar kehidupan bersama yang terasa serba suram dan sulit saat ini, termasuk akibat pandemi COVID-19, segera berlalu dan masyarakat terhindar dari musibah.
Prosesi budaya tersebut terkait juga dengan doa untuk keselamatan masyarakat dari kawasan Gunung Merapi yang saat ini sedang menghadapi peningkatan aktivitas vulkanik sehingga sebagian mereka, khususnya kalangan lansia, perempuan, dan anak-anak, dievakuasi ke berbagai tempat pengungsian dalam konsep "Desa Bersaudara".
"Agar terhindar (dari bencana erupsi Merapi, red.), kita bisa aman. Semoga doa harapan ini didengar Tuhan sehingga semua selamat, sehat, terhindar dari marabahaya, dan diberi ketenteraman lahir dan batin," ujar dia.
Susilo Anggoro yang juga pegiat Komunitas Lima Gunung itu, menjelaskan bahwa ritual itu menunjukkan keprihatinan para seniman terkait dengan situasi kehidupan bersama akhir-akhir ini, antara lain terkait dengan pandemi COVID-19, peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Merapi, dan persoalan akhir-akhir ini yang terkesan mengancam persatuan serta kesatuan bangsa.
"Kalau dalam pewayangan Betari Durga punya prajurit setan, jin. Itu yang mengganggu manusia. Ini kita ritual budaya, kita kemas, lalu kita larung di Sungai Progo, harapannya ini sudah 'lerem' (pulih) keadaan, masyarakat bisa senang, bahagia, bisa menikmati tenang dan tenteram," ujarnya.
Usai prosesi ritual budaya di Sungai Progo mereka kembali ke Pendapa Sasana Pamardi Budaya Kampung Meteseh untuk mengikuti sarasehan tentang sungai sebagai simbol kehidupan dan peradaban umat manusia.
Baca juga: Festival Lima Gunung 2020 pamerkan wayang karya maestro Rastika
Baca juga: Festival Lima Gunung Ke-19 diusung ke Universitas Mulawarman
Pewarta: M. Hari Atmoko
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020