Jakarta (ANTARA) - Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos yang diajukan PT Pos Indonesia (Persero) tidak diterima Mahkamah Konstitusi karena terdapat perubahan direksi di dalam BUMN tersebut selama persidangan.
Dalam sidang pengucapan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh menuturkan pemohonan pengujian itu diwakili oleh Direktur Hubungan Strategis dan Kelembagaan PT Pos Indonesia Noer Fajrieansyah.
Sampai dengan proses permohonan didaftarkan, Noer Fajrieansyah masih menjabat sebagai Direktur Hubungan Strategis dan Kelembagaan PT Pos Indonesia, tetapi sejak 24 September 2020, ia tidak menjabat lagi di PT Pos Indonesia, melainkan menjabat sebagai Direktur Kelembagaan PT Permodalan Nasional Madani.
"Oleh karenanya, sejak saat itu, yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan PT Pos Indonesia," ujar Daniel Yusmic.
Baca juga: PT Pos Indonesia gugat UU Pos ke MK
Dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang, kata dia, identitas dan kapasitas pemohon harus melekat pada permohonan sejak permohonan didaftarkan hingga diputus oleh Mahkamah Konstitusi.
Ia mengatakan apabila di tengah proses persidangan kapasitas pemohon yang dikaitkan dengan anggapan adanya kerugian konstitusional terputus atau tidak lagi sesuai dengan kapasitas pada saat permohonan diajukan, maka dengan sendirinya hubungan sebab akibat kerugian konstitusional dan undang-undang yang diuji tidak dapat diidentifikasi.
"Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah, Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan," tutur Daniel Yusmic.
Sementara untuk Pemohon II yang merupakan perseorangan pengguna jasa PT Pos Indonesia Harry Setya Putra, Mahkamah Konstitusi apabila dikabulkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Baca juga: SPPI dorong Baleg DPR revisi UU Pos
Ada pun PT Pos mempersoalkan Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 8, Pasal 15, Pasal 27 ayat (2), Pasal 30, Pasal 46, Pasal 51 UU Pos karena merasa mengalami kesulitan untuk bersaing dengan banyaknya penyelenggara pos swasta karena masih diwajibkan untuk memberikan layanan pos universal di seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, PT Pos merasa terhalang hak konstitusionalnya karena ketidakjelasan maksud dari upaya penyehatan dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya.
Sedangkan Harry Setya Putra mempersoalkan Pasal 1 ayat (8), Pasal 27 ayat (2), Pasal 29 ayat (2), Pasal 30, dan Pasal 46 UU Pos karena mengkhawatirkan privasi surat yang diperlakukan sama dengan kiriman jenis lainnya.
Baca juga: Erick rombak direksi PT Pos Indonesia
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020