... Mata pelajaran Pancasila sebagai mata pelajaran pokok di sekolah dan perguruan tinggi dihapuskan. Tafsir Pancasila terkesan diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, di mana setiap orang/kelompok bebas menafsirkan sila-sila Pancasila sesuai selera
Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR, Bambang Soesatyo, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menerapkan nilai-nilai kebangsaan dalam kehidupan sehari-hari yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika agar senantiasa mengisi setiap ruang publik.
Dia menilai ruang publik yang kosong dari narasi-narasi kebangsaan akan semakin memudahkan masuknya berbagai nilai-nilai asing yang masuk dengan mendompleng globalisasi dan modernisasi peradaban.
"Hal ini yang sekarang sedang diupayakan MPR melalui kegiatan sosialisasi Empat Pilar MPR yang diselenggarakan melalui berbagai metode dan dengan merangkul berbagai elemen masyarakat. Diharapkan dapat mempererat simpul-simpul kebangsaan yang menyatukan keberagaman dan kemajemukan dalam satu ikatan kebangsaan," kata dia, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Ia menyatakan itu dalam Latihan Kader II Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Koordinatoriat Komisariat Tamalate Cabang Makassar, secara virtual dari Ruang Kerja Ketua MPR, Jakarta, Selasa (24/11).
Ia menilai reformasi 1998 pada satu sisi telah menghadirkan angin segar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang ditandai terbukanya "keran" demokrasi pada berbagai sektor kehidupan.
Baca juga: Ketua MPR sebut ada dorongan masyarakat agar haluan negara dihidupkan
Namun pada beberapa aspek menurut dia, reformasi juga meninggalkan catatan yang harus dikritisi misalnya, kecenderungan sikap menggeneralisir setiap hal yang diasumsikan "berbau" Orde Baru untuk disingkirkan.
"Salah satunya adalah Pancasila, yang terlanjur dilekatkan sebagai atribut Orde Baru, turut menanggung dampaknya padahal Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa tidak pernah menjadi milik suatu rezim. Pancasila adalah milik rakyat Indonesia," ujarnya.
Ia menjelaskan, karena pemaknaan yang salah mengenai Pancasila, segala rujukan materi dan kegiatan yang berkaitan dengan sosialisasi nilai-nilai Pancasila dihilangkan satu demi satu.
Ia mencontohkan, Ketetapan MPR Nomor II/ MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dicabut, Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) dibubarkan.
Baca juga: Bamsoet ingatkan kaum milenial teruskan semangat Sumpah Pemuda
"Mata pelajaran Pancasila sebagai mata pelajaran pokok di sekolah dan perguruan tinggi dihapuskan. Tafsir Pancasila terkesan diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, di mana setiap orang/kelompok bebas menafsirkan sila-sila Pancasila sesuai seleranya masing-masing," katanya.
Ia menilai, untuk mengisi kekosongan peran negara dalam membentuk mental dan ideologi bangsa, almarhum Taufiq Kiemas sebagai Ketua MPR RI periode 2009-2014 merancang dan melaksanakan agenda pemantapan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilakukan melalui sosialisasi Empat Pilar MPR RI.
Ia mengatakan, sejak awal kelahirannya, konsepsi Empat Pilar tidak pernah dimaksudkan untuk mensejajarkan atau bahkan mereduksi kedudukan salah satu elemen di dalamnya.
"Konsepsi Empat Pilar harus didudukkan pada kedudukannya masing-masing, yaitu Pancasila sebagai dasar negara, landasan ideologi, falsafah, etika moral serta alat pemersatu bangsa; UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusional; NKRI sebagai konsensus bentuk negara yang harus dijunjung tinggi; serta Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara yang menjadi ikatan pemersatu dalam kemajemukan bangsa," ujarnya.
Baca juga: Ketua MPR tegaskan Pancasila persatukan bangsa
Menurut dia, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ribuan suku, 6 agama dan puluhan aliran kepercayaan, serta ratusan adat kebudayaan, menjadi negara yang memiliki keragaman bahasa etnis terbanyak kedua setelah Papua Nugini sehingga membangun integrasi nasional merupakan pekerjaan besar yang penuh tantangan.
Dia menilai, dengan tingginya tingkat heterogenitas yang dimiliki, menyebabkan potensi terjadinya persinggungan dan pergesekan akan selalu ada, yang jika tidak dikelola dengan baik akan melahirkan konflik.
Ia menjelaskan, melalui politik devide et impera (politik pecah belah), kolonialis asing telah berhasil memanipulasi kemajemukan sebagai alat untuk mencerai-beraikan bangsa, sehingga mudah ditaklukkan dan dikuasai.
Baca juga: Bamsoet resmikan Desa Wisata Pancasila di Aceh Tenggara
"Butuh waktu berabad-abad bagi untuk membangun kesadaran kolektif kebangsaan dan menumbuhkan nasionalisme sehingga bisa terlepas dari belenggu penjajahan," katanya.
Ia menilai, dalam konteks kekinian, politik adu domba telah bermutasi dalam beragam bentuk dan cara seperti melalui pijakan digital dan media sosial.
Menurut dia, hanya dengan satu sentuhan jari, konten adu domba yang sengaja diunggah dan dibagikan seketika menjadi viral, sehingga dengan tingkat penetrasi internet sebesar 73,7 persen pada kuartal II 2020, bisa dibayangkan bahwa konten adu domba tersebut akan dikonsumsi oleh sekitar 196,7 juta jiwa penduduk Indonesia dalam hitungan detik.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020