"Kontrol represif masih belum cukup dan harus dilengkapi dengan kontrol preventif, yang dimulai pada waktu pembentukan Undang Undang (UU) induk dan pada saat penyusunan PP," kata Prof. Fadli dalam konferensi pers yang dipantau secara virtual menjelang pengukuhannya sebagai profesor Bidang Ilmu Hukum UB di Malang, Selasa.
Menurut dia, salah satu cara untuk melakukan kontrol preventif pada saat penyusunan PP adalah penilaian atau persetujuan dari DPR sebelum PP ditetapkan atau diundangkan oleh Pemerintah.
Dengan demikian, penting mempedomani aturan pendelegasian sesuai dengan Lampiran UU P3. Untuk mencegah supaya PP tidak eksesif, ultra vires (di luar kuasa), dan inkonsistensi dengan UU induknya, perlu kontrol dalam sistem (kontrol sistemik).
Baca juga: Ahli: Perkembangan teknologi instrumentasi jadi peluang bagi peneliti
Baca juga: Universitas Brawijaya siap produksi kit pendeteksi diabetes
Dalam pidato ilmiah pengukuhannya sebagai profesor bertajuk "Peraturan Delegasi Di Indonesia: Ide Untuk Membangun Kontrol Preventif Terhadap Peraturan Pemerintah", Prof. Fadli mengatakan peraturan delegasi sangat diperlukan di berbagai negara demokrasi, khususnya pada era yang menuntut pelayanan publik dilakukan dengan cepat, efektif, efisien tanpa melanggar hukum.
Namun demikian, peraturan delegasi harus dikontrol. Di dunia ini dikenal tiga jenis kontrol, yaitu kontrol parlemen, kontrol yudisial dan kontrol jenis lainnya.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya".
PP disebut secara eksplisit, dijustifikasi dan diposisikan dengan fungsi untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya dalam Pasal 5 ayat (2) konstitusi Negara Indonesia. Persoalannya, PP hanya dibentuk oleh lembaga eksekutif, padahal berisi delegasi dari UU untuk menangani urusan publik.
Kajian ini, katanya, menggunakan pendekatan konsep (conceptual approach), filsafati (philosophical approach), sejarah (historical approach), perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach), yang menggunakan bahan hukum primer dan sekunder, serta dianalisis dengan teknik preskriptif.
Rekomendasi yang diusulkan adalah membentuk kontrol preventif terhadap PP. Caranya, setelah penyusunan draf rancangan PP rampung, diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menilai atau memberi persetujuan sebelum PP ditetapkan atau diundangkan oleh Pemerintah.
Untuk itu, materi muatan yang akan didelegasikan ke PP telah mulai dipikirkan sejak penyusunan Naskah Akademik suatu RUU.
Dengan kontrol preventif tersebut, diharapkan validitas PP terjamin: tidak eksesif, ultra vires atau bertentangan dengan UU induk dan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi, karena materi muatan PP sudah sesuai dengan materi muatan yang didelegasikan oleh UU induknya.
Mengingat PP berfungsi untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya, katanya, maka dalam UU yang mendelegasikan kewenangan telah diatur dengan jelas bentuk dan ruang lingkup yang akan didelegasikan dan diatur dalam PP.
Materi muatan PP hanya mengatur yang didelegasikan dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan lain yang lebih tinggi tingkatannya, tidak boleh membentuk badan atau lembaga baru, tidak boleh restriktif, PP yang melebihi materi muatan delegasi batal demi hukum (van rechtwegenietig, void), karena ditetapkan oleh pejabat atau badan yang tidak berwenang.
"Oleh karena itu, penting mempedomani aturan pendelegasian sesuai Lampiran UU P3. Untuk mencegah agar PP tidak eksesif, ultra vires, dan inkonistensi dengan UU induknya, perlu kontrol sistemik," kata profesor kelahiran Bondowoso yang menyelesaikan S3-nya di Unpad tersebut.*
Baca juga: Tertinggi ajukan paten saat pandemi, UB raih penghargaan Kemkumham
Baca juga: Mahasiswa UB buat pasta gigi sensitif dari cangkang telur
Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020