Mirip dengan di Indonesia dalam dua pemilu terakhir

Jakarta (ANTARA) - Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria meminta masyarakat menyikapi secara bijak foto Gubernur Anies Baswedan sedang membaca buku dan viral di media sosial karena membaca adalah hal biasa bagi mantan Mendikbud itu.

"Pak Anies dan banyak pemimpin lainnya biasa baca buku. Judulnya macam-macam. Mulai dari judul soal agama sampai seni budaya. Jadi, saya kira, kita sikapi secara bijak. Nggak usah berlebihan," kata Riza di Balai Kota Jakarta, Selasa.

Menurut Riza, membaca buku biasa dilakukan oleh para pemimpin dunia dengan berbagai topik dan judul.

"Pemimpin membaca buku itu biasa. Sesuatu yang baik dengan berbagai judul. Jadi, tidak usah ditafsirkan berlebihan," ujar Riza.

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membagikan aktivitasnya pada Ahad pagi, 22 November 2020 melalui akun Twitternya @aniesbaswedan.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu mengunggah fotonya saat sedang membaca buku.

"Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi." tulis Anies dalam keterangan unggahannya.

Dalam foto yang dibagikan, Anies berkemeja putih lengan pendek dan sarung merah tua dengan motif kotak-kotak kecil. Anies duduk dan terlihat membaca buku "How Democracies Die" bersampul hitam yang senada dengan jam tangan digitalnya.

Latar belakang rak buku coklat kayu berukuran sedang sejajar dengan rak kabinet yang di atasnya terdapat beberapa foto keluarga. Dalam unggahan tersebut, terlihat warganet penasaran dengan buku yang Anies baca.

Seperti akun @dodokasep merespon foto yang diunggah Anies dengan menulis, "Jadi penasaran sama bacaannya."

Analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto, menjelaskan, konteks isi buku How Democracies Die mengacu pada terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.

"Tapi tidak semata-mata membahas Amerika Serikat," kata dia, Senin (23/11).

Arif memaparkan, kedua penulis How Democracies Die menyuguhkan pandangan berbeda. Kedua penulis, Daniel Ziblatt and Steven Levitsky menunjukkan fenomena terkini bahwa, demokrasi bisa berakhir tidak dengan cara runtuh.

“Demokrasi bisa juga runtuh pelan-pelan." Fenomena ini disebut Ziblatt dan Levitsky dengan baby step.

Arif merangkum tiga pemikiran Ziblatt dan Levitsky.

Pertama, ancaman terhadap demokrasi bisa berasal dari sebuah pemerintahan yang terpilih lewat pemilu. Kedua, demokrasi terancam pelan-pelan, salah satunya dengan menghalangi kebebasan.

Ketiga, demokrasi berpeluang melahirkan demagog atau pemimpin yang berlagak memihak kepada rakyat (populis), tapi justru menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Sehingga, masyarakat terpolarisasi, dalam bahasa mudah diadu domba.

"Mirip dengan di Indonesia dalam dua pemilu terakhir," tuturnya.

Baca juga: Anies: Buku tidak laku bukan karena harganya, melainkan daya baca
Baca juga: Pemprov DKI Jakarta kaji pembukaan sekolah tatap muka pada awal 2021

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2020