Jakarta (ANTARA News) - Indonesia kembali kehilangan salah satu putra terbaik bangsa, atas wafatnya Marwoto Hadi Soesastro, salah satu pendiri Center for Strategic and International Studies (CSIS).
Pengamat ekonomi politik yang akrab dipanggil Hadi ini, meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, pada Selasa (4/5) setelah menderita kanker prostat dan pendarahan pembuluh darah di otak.
Semasa hidupnya, Hadi Soesastro bisa dikatakan satu saksi sejarah pasang surut ekonomi dan politik Indonesia, karena hidup di tiga zaman yaitu Orde Lama, Orde Baru, dan masa Reformasi.
Melalui CSIS yang didirikan pada tahun 1971, sumbangsih Hadi terhadap bangsa terlihat jelas dari kritikan-kritikan, pemikiran dan masukan kepada pemerintahan yang sedang berkuasa.
Bersama sederet nama lainnya, --Ali Moertopo, Soedjono Humardhani, Harry Tjan Silalahi, Josephus Beek (Jusuf Wanandi), Daoed Joesoef, Clara Juwono--, Hadi memulai berbagai kegiatan kajian-kajian independen meliputi, penelitian kebijakan dan analisa strategis dalam politik, ekonomi, dan keamanan, kebudayaan.
"CSIS kehilangan Hadi Soesastro, tapi bangsa ini juga kehilangan sosok pendidik, pemikir dan pekerja," kata salah satu pendiri CSIS, Harry Tjan Silalahi.
Menurut Harry, Hadi merupakan sosok yang patut diteladani dalam kesehariannya, selain memiliki pemikiran yang terbuka, pandai, sederhana, juga memiliki intuisi yang tajam dalam setiap kajiannya.
Dari sisi pemahaman, ia penganut pluralisme dalam ketatanegaraan demokrasi, dan selalu mengedepankan ekonomi kerakyatan. Sedangkan pada tataran politik internasional, Hadi menjadi perunding yang tangguh dalam melakukan diplomasi dengan pihak asing.
"Ia memiliki jaringan luas, tidak saja di dalam negeri tetapi juga di tingkat internasional," kata Harry.
Eksistensi CSIS sebagai lembaga terkemuka di dunia, tentu saja tidak karena Hadi semata, namun buah pemikirannya dan kerja kerasnya selama 39 tahun di CSIS juga telah membuahkan hasil.
CSIS menjadi salah satu satu lembaga kajian strategis terkemuka di Asia Pasifik, dan masuk pada 36 lembaga kajian paling berpengaruh di dunia.
Pandangan positif terhadap Hadi juga disampaikan, Pande Raja Silalahi. Pengamat ekonomi yang juga bagian dari CSIS ini, menggambarkan Hadi adalah orang yang cinta pekerjaan, konsisten dalam setiap penelitian ekonomi politik.
"Ia orang yang selalu memberikan buah pikiran berupa kritikan dan gagasan terhadap pemerintahan. Tidak saja pada Orde Baru, tetapi juga pada saat Reformasi bergulir di negeri ini," kata Pande.
Pengacara Todung Mulya Lubis menuturkan, seorang Hadi merupakan pribadi yang mampu memberikan empati tidak hanya kepada teman tetapi juga kepada yang mengalami kesulitan.
Tak kurang dengan Indra Jaya Piliang, untuk mengekspresikan kekagumannya, ia menulis dalam blog dengan judul "Terbanglah Pak Hadi".
Mantan peneliti CSIS ini menggambarkan Hadi sangat berperan sebagai mentor senior dalam membimbing para peneliti muda di lembaga itu.
Indra yang mulai masuk CSIS pada tahun 2000 itu, mengaku keahlian terbesar Hadi adalah mendengar dan bertanya, terutama terkait peristiwa politik atau berkaitan dengan aktivitas masyarakat sipil.
Dalam hal ilmu pengetahuan, Hadi memiliki pengetahuan yang luas, sekaligus dalam, runut, logis dan detil.
"Kalau ada julukan terhadap Pak Harto sebagai "The Smiling General", maka Pak Hadi adalah The Smiling Scholar," ujar Indra.
Hadi kini sudah pergi untuk selamanya. Namun, karyanya di bidang ekonomi politik, dan ketahanan nasional, termasuk diplomasi ekonomi di tingkat internasional tidak terhitung nilainya.
Ibarat pelangi, ia memberi warna pemikiran di bidang ekonomi, hubungan internasional, budaya, sampai masalah-masalah masyarakat sipil, politik, pertahanan dan hak-hak perempuan.
Hadi Soesastro tidak hentinya mengembangkan kemampuannya. Setelah menyelesaikan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, ia melanjutkan ke Universitas Sorbonne Prancis pada akhir 1964, dengan beasiswa dari Ford Foundation dan persetujuan pemerintah.
Tidak sampai di situ, ia juga kuliah pada Faculty of Aero and Astronautical Engineering at RW-TH Aachen, Germany. Hadi Soesastro memperoleh gelar doktor (Phd) dari The Rand Graduate School, Santa Monica, California.
Pada akhir 2009, Hadi memperoleh gelar Profesor dari Australian National University (ANU).
Di bidang akademisi, Hadi Soesastro pernah menjabat Adjunct Professor di Research School of Pacific Asian Studies (RSPAS), The Australian National University. Dia juga kerap memberi kuliah di sejumlah universitas terkemuka seperti Columbia University, New York.
Pria berkacamata ini, selain pernah menjabat Direktur Eksekutif CSIS, anggota Dewan Ekonomi Nasional-lembaga penasihat Presiden Abdurrahman Wahid, periode Desember 1999-September 2000.
Hadi juga anggota sejumlah lembaga penasihat internasional di antaranya Asia Society, New York.
Tentu dengan nalarnya yang tajam, dan pemikiran kritisnya, ia sering mengisi jurnal dan kolom di sejumlah media internasional.
Ia juga menjadi anggota editorial Indonesia Quarterly, buletin Studi Ekonomi Indonesia, buletin ekonomi ASEAN, Asian Economic Policy Review and the Asian Development Review of the Asian Development Bank.
Saat-saat terakhir, Hadi juga dipercaya sebagai Komisaris Independen pada PT Semen Gresik Tbk, komisaris PT Adira Dinamika Multifinance, dan PT Sepatu Bata.
Sederet tugas yang dipercayakan pemerintah kepadanya Hadi, meliputi anggota Tim Nasional Negosiasi Perdagangan Internasional, Tim Ahli Isu Ekonomi untuk Menteri Keuangan RI, Tim Ahli Kajian Kawasaan Perdagangan Bebas Asia Timur (EAFTA).
Selanjutnya, Kelompok Ahli Kemitraan Ekonomi Asia Timur (CEPEA), serta anggota Indonesia-South Korea Eminent Person Group and Strategic Partnership.
Anggota Asean-Korea Eminent Person Group, Academic Advisory Council of the newly established Economic Research Institute for ASEAN, and East Asia (ERIA).
Selain itu juga salah satu anggota aktif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).
Pekerja keras
Hadi lahir di Malang, Jawa Timur pada 30 April 1945. Meninggalkan seorang istri bernama Janti Solihin (61), dan dua putra Hariyadi Iskandar (Agus) usia 29 tahun, dan Daryadi Iskandar (Albert) usia 27 tahun.
Di mata sang istri dan kedua anaknya, Hadi merupakan sosok penyayang terhadap keluarga, bertanggungjawab, dan menjadi menjadi teladan.
"Dia itu komplit. Sebagai suami, bapak, teman dan juga menjadi sahabat bagi kami. Ia sangat terbuka untuk didiskusikan," ujar Janti.
Akan tetapi, satu hal yang sangat sulit untuk dikomunikasikan adalah soal pekerjaan.
"Kalau sudah bekerja, membuat kajian, bapak tidak bisa dihentikan. Bisa berjam-jam di depan komputer. Saat saya tertidur menemaninya di samping meja kerja. Saat itu pula dia tetap bekerja dan bekerja," kata Janti.
Bahkan saking rajinnya Hadi bekerja, Janti mengatakan, dia tidak pernah tahu pukul berapa sebenarnya dia istirahat tidur. "Saya menunggu bapak sampai ketiduran, tapi ketika saya bangun dia sudah bangun," imbuhnya.
Akibatnya, waktu untuk berolah raga diakui Janti, sangat kurang. "Dia paling susah kalau olah raga," kata Janti.
Akan tetapi soal urusan keluarga, Hadi merupakan nomor wahid. Di sela-sela menunaikan tugas di luar negeri, baik untuk keperluan menjadi dosen terbang di sejumlah universitas, Hadi selalu menyempatkan diri untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga. Termasuk bertelepon menanyakan kabar dua anaknya yang dalam lima tahun terakhir menuntut ilmu di luar negeri.
Agus sang sulung kini bekerja di New York, menggeluti bidang rancang busana dan pengamat fashion, sedangkan Albert saat ini bekerja sambil kuliah tingkat akhir jurusan teknologi informasi di Australian National University.
"Bapak tidak memaksa kami harus menjadi ekonomi, ataupun peneliti. Kami dibebaskan untuk memilih bidang yang kami minati. Saya TI, sedangkan kakak saya pengamat fashion," ujarnya.
Meski kesibukan terus melekat pada Hadi, namun Janti mengaku, suaminya juga memiliki jiwa seni yang tinggi.
"Dia suka terhadap benda-benda seni atau barang antik. Tidak untuk koleksi tapi hanya sekedar mengagumi," katanya.
Namun untuk urusan musik, ia mengkoleksi kaset dan piringan hitam musik klasik, opera dan film-film kuno.
Jiwa boleh kuno, tetapi pemikiran tetap maju, bisa jadi ini menjadi paham lain yang dianut Hadi.
Pemikiran-pemikiran yang lebih terbuka dan memiliki memiliki wawasan luas ke depan tampaknya menjadi dasar Hadi tetap mengikuti perkembangan informasi.
Hal itu tercermin dalam status akun situs jejaring sosial "facebook". Selain memiliki teman hingga ratusan orang, Hadi juga dalam statusnya memiliki prinsip "A husband, a father, a scholar, a mentor, a hero, an inspiration...". Setidaknya sesuai dengan kenyataan yang dilakoninya dalam semasa hidupnya, Hadi berupaya menjadi seorang suami, ayah, yang terpelajar, sebagai guru, sebagai pahlawan, dan inspirator..."
Tidak berlebihan, Hadi bisa dianggap telah menjalankan slogan CSIS, "Nalar Ajar Terusan Budi" yaitu Bernalar dan Bekerja Adalah Konsekuensi Budi Yang Luhur.
Selamat jalan, pendidik, pemikir dan pekerja. (R017/K004)
Oleh Oleh Roike Sinaga
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010