Surabaya (ANTARA News) - Puluhan pedagang di Pasar Peneleh melengkapi diri dengan bambu runcing terkait rencana Pemerintah Kota Surabaya yang hendak memindahkan mereka secara paksa ke Pasar Induk Osowilangun.

"Bambu runcing ini sebagai simbol perlawanan `Arek-arek Suroboyo` terhadap penjajah pada 10 November 1945. Bukan untuk melawan aparat," kata Ismail Hamzah selaku Koordinator Perhimpunan Pedagang Buah Pasar Peneleh, Rabu dini hari.

Ia menegaskan, para pedagang di Pasar Peneleh tetap bertahan dan tidak akan bersedia meninggalkan lokasi dagangan mereka.

"Kami tetap akan bertahan di sini karena di tempat ini pula kami mencari nafkah selama ini. Demikian juga dengan pedagang di Pasar Keputran dan Pasar Koblen," katanya usai mengadakan pertemuan dengan perwakilan pedagang Pasar Keputran dan Pasar Koblen itu.

Ia menyesalkan rencana Pemkot Surabaya yang hendak menggusur mereka menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) di kota itu digelar pada 2 Juni 2010.

"Seharusnya menjelang pilkada, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bisa menjaga kondusivitas kota, bukan malah mengeluarkan kebijakan yang bisa menimbulkan gejolak sosial," kata Ismail yang sudah 15 tahun berjualan jeruk di Pasar Peneleh itu.

Pemkot Surabaya memerintahkan pedagang di ketiga pasar tradisional itu memindahkan dagangannya ke Pasar Induk Osowilangun paling lambat Rabu pagi.

Namun, hingga berita ini diturunkan tidak ada tanda-tanda pengerahan aparat, baik dari pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol) PP maupun pihak Polri, ke tiga pasar tersebut.

Sejak Selasa (4/5) sore, para pedagang sudah menyiapkan bambu runcing. Sebagian di antara mereka meletakkan bambu runcing yang dilengkapi bendera Merah-Putih kecil itu di depan kios mereka.

Aktivitas pedagang di Pasar Peneleh tetap seperti biasa. Kesibukan kuli angkut menurunkan barang dagangan dari truk juga masih terlihat seperti hari-hari sebelumnya.

Meskipun ada rencana upaya pemindahan secara paksa, situasi di ketiga pasar tersebut tetap kondusif dan tidak terlihat mencekam.(M038/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010