Kalau Anda ke warkop, tidak salah. Mungkin Anda bayar sendiri kopinya, Anda menikmati sendiri. Tetapi publik akan melihat
Jakarta (ANTARA) - "Apa kabar? Ngopi dimana kita?".
Sapaan seperti itu kerap terdengar dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Itu bermakna persahabatan, keakraban dan menunjukkan interaksi sosial yang harmonis.
Sapaan itu juga menunjukkan tingginya popularitas kopi dalam kehidupan sehari-hari warga dari berbagai kalangan dan latar belakangnya. Popularitas itu memacu dan memicu tumbuhnya tempat-tempat untuk minum kopi.
Dari sekedar warung kopi (warkop), kedai kopi, restoran yang menyediakan minuman kopi hingga kafe. Beragam menu kopi tersedia di tempat-tempat "ngopi" yang tersebar seantero wilayah Indonesia.
Beragamnya minuman berbahan dasar kopi kemudian menginspirasi tak sedikit orang yang memiliki atau membuka usaha kopi dengan beragam citarasa. Dari rasa kekinian hingga ciri khas yang asli (original) dan kedaerahan.
Dari beragam usaha minuman kopi yang tersebar dari Sabang hingga Merauke dan dari Miangas sampai Pulau Rote, perputaran ekonomi berlangsung 24 jam. Pecinta dan penikmatnya berpuluh juta orang dari beragam usia dan profesi.
Kopi juga mengisi relung kehidupan pada beragam situasi. Kehadirannya tak kenal musim hujan atau kemarau, juga cuaca cerah atau berawan.
Suasana dan situasi apapun tetap cocok untuk menikmati seruputannya hingga tetes terakhir. Tua-muda dan lintas generasi menjadi pengidamnya.
Mewarnai pilkada
Kopi juga selalu menemani kesibukan atau beragam aktivitas, baik saat santai maupun serius. Juga saat santai tapi serius seperti membahas perkembangan politik, pemilihan kepala daerah (pilkada) dan calon kepala daerah.
Banyak bahasan dalam diskusi atau obrolan yang berlangsung di tempat-tempat "ngopi" atau ada yang menggunakan kata "ngupi". Tak dapat dipungkiri kadang berkembang stigma bahwa salah satu tempat "ngopi" menjadi tempat berkumpul tim sukses, pendukung atau simpatisan calon tertentu di pilkada.
Baca juga: DKPP minta penyelenggara pemilu jadikan integritas sebagai gaya hidup
Di tempat "ngopi" lainnya menjadi tempat berkumpul calon lain. Peserta "ngopi" tentu orang-orang yang satu kubu terkait "dukung-mendukung".
Kubu-kubu dalam rivalitas politik sering berimbas kepada munculnya kubu-kubu soal tempat "ngopi". Tim sukses dan pendukung calon tertentu punya tempat minum kopi sendiri, calon lain lain juga demikian.
Kalaupun tidak satu kubu, tempat minum kopi juga sering menjadi lokasi untuk meyakinkan atau melobi pihak lain guna memperbesar dukungan untuk calon tertentu. Ujungnya bisa bermacam-macam, dari sekedar "nongkrong" dan bersenda gurau, hingga bicara proyek, gratifikasi atau "deal-deal", kesepakatan dan strategi untuk memenangkan pertarungan politik.
Tak tertutup kemungkinan diskusi dan pembicaraan berlangsung antara tim sukses dengan pihak yang berkaitan dengan penyelenggaraan pilkada. Juga antara tim sukses dengan orang-orang yang duduk di birokrasi pemerintahan.
Semua itu memungkinkan akan terungkap ketika satu calon yang memenangkan rivalitas politik kemudian tersangkut masalah hukum. Pengusutan atas kasusnya dilakukan
hingga menghasilkan konstruksi kasus dengan fakta lebih detil termasuk soal "ngopi-ngopi".
Diingatkan
Kebiasaan "ngopi" benar-benar lekat dengan kegiatan politik, termasuk pilkada yang puncaknya pada 9 Desember mendatang.
Buktinya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sampai harus memberi perhatian khusus dan serius terhadap tempat "ngopi" di arena pilkada.
Ini karena urusan "ngopi" di tengah pilkada bisa berdampak serius dan berimplikasi untuk jangka waktu yang panjang. Tentu tidak semua urusan "ngopi" berpotensi masalah, tetapi sebagai pengingat dan antisipasi, sorotan DKPP patut menjadi perhatian.
Imbauan DKPP tegas. Yakni, mengimbau seluruh penyelenggara pilkada untuk menghindari berkumpul di warung kopi sampai semua tahapan selesai.
Ternyata ini imbauan resmi DKPP menjelang hari "h" pencoblosan pilkada. DKPP mengidentifikasi bahwa warung kopi itu biasanya tempatnya tim sukses dan pendukung calon berkumpul.
Kalau penyelenggara pemilu terutama yang adhoc selalu kelihatan bersama-sama dengan tim sukses peserta pemilu, publik akan melihat ada kedekatan sehingga menimbulkan keraguan masyarakat.
Saat memberikan penguatan dan pengarahan pelaksanaan pilkada serentak di Gorontalo, beberapa hari lalu, Ketua DKPP Muhammad mengemukakan bahwa penyelenggara pilkada sedang berjuang mendapat kepercayaan publik. Karena itu, DKPP menilai perlu untuk mengimbau hal tersebut di tengah fenomena "ngopi-ngopi"
"Saya titip pesan kepada sekretaris, baik di KPU maupun Bawaslu, supaya kopinya disiapkan di kantor saja. Kopi, teh, bahkan susu segar, siapkan semua supaya tidak nyari ke warkop," katanya.
Peluang tergoda
Sinyal DKPP jelas dan tegas bahwa ada peluang penyelenggara pilkada terutama yang adhoc bisa tergoda dengan bujuk rayu tim sukses bila intensif bertemu.
Selain warkop, DKPP juga meminta penyelenggara tidak bergabung dalam grup WhatsApp (WA) atau platform komunikasi lain yang di dalamnya ada peserta pilkada atau tim suksesnya.
Baca juga: Ketua DKPP: Kesuksesan Pilkada 2020 tanggung jawab semua pihak
Untuk itu, penyelenggara pemilu dipersilahkan keluar dulu dari grup seperti itu untuk menghindari kesan-kesan keberpihakan. Ini berlaku sampai setelah kepala daerah terpilih dilantik, baru penyelenggara pemilu boleh bergabung kembali ke grup platform komunikasi itu.
Temuan mengindikasikan bahwa ada sejumlah perkara etik yang ditangani DKPP, mengonfirmasi dialog antara pasangan calon dan penyelenggara di grup WA. Komunikasi itu tanpa disadari menunjukkan keberpihakan.
Karena itu, DKPP mengimbau penyelenggara pemilu agar berhati-hati bila diundang ke dalam grup-grup WA atau platform komunikasi lainnya. DKPP khawatir di grup-grup WA itu banyak godaan.
Imbauan DKPP juga menyangkut interaksi yang dibangun penyelenggara dengan calon dan tim suksesnya, yaitu "tatalah senyum Anda sama untuk semua pasangan calon". Jangan sampai senyum Anda berbeda kepada pasangan calon 1, 2 dan lainnya
Lebar senyum penyelenggara pilkada harus disamakan dan ramahnya juga disamakan untuk semua calon berikut pendukungnya. Tidak ada urusan dengan petahana atau bukan petahana, tapi urusannya pada proses yang berintegritas dan berkualitas.
Muhammad saat menjadi pembicara dalam Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, menjelaskan kembali alasan DKPP melarang petugas penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) pergi ke warung kopi (warkop).
Sensitivitas
Imbauan tersebut bukan karena pergi ke warkop itu salah. Namun imbauan tersebut merupakan bentuk perhatian (concern) DKPP pada kepatuhan penyelenggara pemilu terhadap azas moral dan fungsi yang melekat padanya.
Di masa-masa pilkada ini, DKPP mengimbau kepada seluruh penyelenggara pemilu untuk senantiasa menghindari warung kopi. Warkop ini tempatnya tim sukses berkumpul.
Baca juga: DKPP: KPU dan Bawaslu memiliki tugas inti jaga kepercayaan publik
Tim kerabat, tim kampanye, tim A, tim B dan di situ sering pula berkumpul peserta pemilu. "Benar atau salah? Kalau Anda ke warkop, tidak salah. Mungkin Anda bayar sendiri kopinya, Anda menikmati sendiri. Tetapi publik akan melihat," ujar Muhammad.
Pertemuan publik dengan petugas penyelenggara pemilu yang mendatangi warkop itu dapat membangkitkan emosional. Itu karena publik di warkop tadi adalah para peserta pemilu maupun simpatisan.
Warkop itu pun menjadi sarana pertemuan rasa emosional antara wasit dan pemain. Maka DKPP mengimbau agar KPU-Bawaslu seluruh Indonesia menghindari warung kopi sampai dilantiknya gubernur, bupati, wali kota di 270 daerah.
Tentu imbauan itu bukan melarang orang minum kopi, bukan itu maksudnya. Tetapi memindahkan lokasi minum kopi dari warkop ke kantor.
Kalaupun tetap mau "ngopi" di luar kantor tentunya kewaspadaan dan tetap menjaga jarak dengan calon dan tim suksesnya.
Di masa "injury time" ini, jangankan bertemu dan "ngupi-ngupi", bertegur sapa di jalan atau di tempat lain sebagai bagian dari bentuk kesopanan dan kesantunan sosial saja bisa memicu ketegangan serta menimbulkan beragam isu. Sensitivitas sedang mewarnai interaksi sosial di arena pilkada.
Di sinilah urgensi DKPP menyampaikan imbauan agar penyelenggara dan pasangan calon serta tim suksesnya menjaga jarak hingga seluruh tahap pilkada selesai. Yakni saat berlangsung pelantikan kepala daerah yang baru.
Entah suatu kesengajaan ataukah kebetulan, tampak jelas bahwa imbauan DKPP itu juga tegak lurus, seiring dan sejalan dengan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus corona (COVID-19).
Karena itu, yang terbaik saat ini untuk sementara waktu "ngupi"-nya jarak jarak dulu sampai virus corona tak ada lagi dan pelantikan kepala daerah yang baru.
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2020