Penggunaan antimikroba secara luas yang tidak terkendali dapat memicu munculnya resistensi antimikroba
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersinergi dengan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dalam rangka mengendalikan resistensi antimikroba di dalam perikanan budidaya di Tanah Air.
"Penggunaan antimikroba secara luas yang tidak terkendali dapat memicu munculnya resistensi antimikroba. Namun begitu, penggunaan antimikroba tidak menjadi masalah apabila digunakan secara tepat sesuai dengan jenis bakteri yang menginfeksi, dosis dan sesuai dengan mekanisme kerja antibakteri tersebut,” kata Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto dalam siaran pers di Jakarta, Senin.
Ia memaparkan, salah satu bentuk sinergi KKP-FAO dalam pengendalian resistensi antimikroba antara lain dengan menggelar acara National Training Workshop on Antimicrobial Resistance (AMR) Surveillance and Monitoring, di Anyer Kabupaten Serang, November 2020.
Menurut dia, produksi perikanan budidaya di Indonesia cukup tinggi baik untuk komoditas air payau, air tawar dan laut. Namun demikian, dalam proses produksi sering terkendala dengan adanya penyakit yang menginfeksi ikan berupa virus, bakteri, jamur, maupun parasit.
Dalam mengatasi penyakit, lanjutnya, tidak terlepas dari penggunaan antimikroba, namun dalam pemakaiannya harus dilakukan secara bijak.
"Acara National Training Workshop on AMR Surveillance and Monitoring yang diselenggarakan merupakan salah satu upaya Ditjen Perikanan Budidaya untuk ikut serta mengendalikan resistensi antimikroba khususnya di perikanan budidaya," ucapnya.
Slamet mengingatkan pula bahwa Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Instruksi Presiden terkait pengendalian antimikroba kepada Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Inpres Nomor 4 Tahun 2019 dan mengatur penggunaan antimikroba yang diperbolehkan di perikanan budidaya sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 01/PERMEN-KP/2019 tentang Obat Ikan, dengan antimikroba meliputi eritromisin, enrofloksasin, klortetrasiklin, oksitetrasiklin, dan tetrasiklin.
Slamet menambahkan saat ini perikanan budidaya masih menjadi salah satu tulang punggung ketahanan pangan dan pemulihan ekonomi nasional selama pandemi.
Untuk itu, ujar dia, pihaknya tidak mau pada saat kondisi seperti sekarang, produktivitas perikanan budidaya terganggu karena adanya penyakit yang menyerang pada ikan.
"Pada saat seperti sekarang ini harus mampu merumuskan formula penanganan penyakit dalam perikanan budidaya tetapi tidak meningkatkan risiko terjadinya resistensi antimikroba dan pada akhirnya tidak mengganggu produksi perikanan budidaya nasional," papar Dirjen Perikanan Budidaya.
Direktur Kawasan dan Kesehatan Ikan KKP, Tinggal Hermawan juga mengarisbawahi pengendalian resistensi antimikroba merupakan upaya untuk memastikan bahwa produk akuakultur khususnya komoditas ikan konsumsi telah memenuhi prinsip keamanan pangan sehingga menjamin kesehatan masyarakat.
Tinggal menambahkan Indonesia telah menyusun rencana aksi nasional pengendalian AMR tahun 2020-2024 yang dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan dengan melibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta BPOM.
Baca juga: KKP ungkap keunggulan sistem bioflok dalam budi daya perikanan
Baca juga: Hoaks, surat Kementerian Kelautan dan Perikanan tentang dana budidaya perikanan
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020