Jakarta (ANTARA) - Hampir setiap perhelatan pemilu, baik itu pemilu legislatif, pemilu kepala daerah, maupun pemilu presiden, isu netralitas ASN selalu menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Sebab, netralitas ASN menjadi masalah yang kerap muncul.

Kementerian Dalam Negeri bahkan sampai menegur 67 kepala daerah dan memberi waktu tiga hari untuk menindaklanjuti rekomendasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) terkait pelanggaran netralitas ASN dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020.

Ketua Umum Dewan Pengurus Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Nasional, Zudan Arif Fakrulloh menyebut itu sebagai 'ritual politik lima tahunan', karena setiap lima tahun pasca-pemilihan kerap muncul tsunami birokrasi. Banyak ASN yang dicopot, banyak ASN yang dinonjob​​​​​​​kan.

Seperti di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau misalnya, ada seorang pejabat struktural ASN yang juga Ketua Lembaga Adat setempat, dicopot jabatannya oleh Bupati Lingga pada Rabu (11/03/2020).

Belum jelas apakah itu ada kaitannya dengan kegiatan ASN tersebut menjelang pilkada, namun bila dilihat, posisi ASN memang dilematis, maju kena mundur kena, netral pun kena.

Walaupun, jika ASN mau merujuk kepada aturan, dilema yang berujung dengan tsunami birokrasi itu seharusnya tidak perlu juga.

Di dalam Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang ASN Pasal 2 huruf f yang menyebutkan bahwa: “Penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada asas netralitas yang berarti bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun”.

Pada dasar hukum yang sama, terutama pada Pasal 31 Ayat 1, terdapat asas-asas netralitas yaitu netral, tidak berpihak, bebas konflik kepentingan, bebas intervensi politik, adil, dan melayani.

Intinya, ASN harus dapat menjalankan perannya melayani masyarakat tersebut secara profesional dan tidak membuat konflik ketika pemilihan umum akan digelar.

Apalagi dalam setiap pelaksanaan tahapan pemilu, ASN secara langsung atau tidak langsung ikut bertanggungjawab pada prosesnya. Netralitas ASN dapat dikatakan sebagai refleksi penyelenggaraan pemilu yang bebas, jujur dan adil.

Baca juga: Netralitas ASN di pilkada, Ketum Korpri usulkan redesain sistem karier

Karena itu, ASN berkewajiban menjaga sumber daya negara seperti birokrasi, keuangan, dan kewenangan tidak dimanipulasi untuk kepentingan tertentu yang dapat mengakibatkan kompetisi yang tidak sehat.

Karena dampaknya sangat luas, dan menyangkut kepercayaan publik dan legitimasi pemerintah.

Asas-asas tersebut menjadi bagian dari pedoman Komisi ASN dalam melakukan kegiatan pengawasan, atau dengan kata lain menjaga netralitas ASN berada pada kewenangan KASN.

Ditinjau dari jumlah ASN yang harus diawasi oleh KASN, populasinya mencapai 4.121.176 orang ASN dan sekitar 70 persen merupakan ASN pada pemerintah daerah.

Untuk tahun 2020, KASN melakukan pengawasan terhadap 270 pemerintah daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak tersebar di 224 kabupaten, 37 kota, dan 9 provinsi, bersama-sama dengan Badan Pengawas Pemilu.

Menurut hasil survei bidang pengkajian dan pengembangan sistem KASN pada 2018, penyebab terjadinya pelanggaran netralitas ASN yang paling dominan adalah adanya motif untuk mendapatkan/mempertahankan jabatan/ materi/proyek (43,4 persen), disusul adanya hubungan kekeluargaan/kekerabatan dengan calon (15,4 persen), kurangnya pemahaman aturan/regulasi tentang netralitas ASN (12,1 persen), adanya intervensi/tekanan dari pimpinan/atasan (7,7 persen), kurangnya integritas ASN untuk bersikap netral (5,5 persen), ketidaknetralan ASN dianggap sebagai hal lumrah (4,9 persen), pemberian sanksi lemah (2,7 persen), lainnya (1,6 persen), dan tidak menjawab (6,6 persen).

Dari data di atas, yang sangat menarik adalah bahwa lima jabatan ASN teratas yang melanggar adalah jabatan pimpinan tinggi (27,6 persen), fungsional (24,4 persen), administrator (14,3 persen), pelaksana (12,7 persen), dan kepala wilayah yakni camat dan lurah (9 persen).

Dari jumlah tersebut bisa pula dibuat lima kategori pelanggaran yaitu: Melakukan pendekatan ke parpol terkait pencalonan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah (21,5 persen); Kampanye/sosialisasi media sosial (21,3 persen); Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan kepada salah satu pasangan calon (13,6 persen); Memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah (11,2 persen); dan Membuat keputusan yang dapat menguntungkan/merugikan pasangan calon selama masa kampanye (11 persen).

Beberapa area yang sering dilanggar oleh ASN dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori. Kategori pertama, sebelum pelaksanaan tahapan pilkada berupa memasang baliho dan ikut dalam kegiatan partai politik.

Kategori kedua, tahap pendaftaran bakal calon kepala daerah berupa mendaftarkan diri sebagai bakal calon kepala daerah, ikut deklarasi dalam deklarasi balon kepala daerah, posting dan share bakal calon kepala daerah di media sosial, dan memberikan dukungan kepada calon kepala daerah dengan mengerahkan ASN lain.

Kategori ketiga, tahap penetapan calon kepala daerah dengan cara ikut dalam kegiatan kampanye, memfasilitasi kegiatan kampanye, serta posting dan share calon kepala daerah di media sosial.

Dan kategori keempat, tahap setelah penetapan kepala daerah yang terpilih, berupa ikut dalam pesta kemenangan kepala daerah terpilih.

ASN dapat dikatakan tidak netral ketika muncul dalam paradigmanya untuk menapak karier dengan cara yang mudah, misalnya menggunakan perkoncoan, atau pendekatan dengan calon-calon kepala daerah tertentu dengan harapan dapat memiliki posisi yang aman.

Potensi munculnya paradigma seperti itu adalah penyakit birokrasi yang sudah ada dari sejak birokrasi masa lalu.

Baca juga: Menpan RB: ASN harus netral karena perannya sebagai pemersatu bangsa

Hal ini dinilai karena penyakit itu muncul akibat para ASN di Indonesia yang seringkali mengemban tugas-tugas tanpa ancaman pemecatan. Sehingga Pegawai ASN tak takut apabila melakukan tindakan yang tidak terhormat dalam pekerjaannya.

Makanya banyak sekali yang mau menjadi pegawai ASN itu. Sayangnya, banyaknya jumlah yang mau menjadi ASN tidak diikuti dengan ikatan yang kuat pada kontrak kerja mereka, yang dapat menjadikan pengabdian ASN utuh hanya untuk melayani masyarakat.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo mengatakan ASN membawa identitas negara dalam kapasitas mereka, bukan membawa identitas cabang kekuasaan eksekutif.

Dengan identitasnya, Tjahjo menilai, seharusnya ASN sadar bahwa dirinya milik semua warga negara. Tjahjo menegaskan bahwa akronim ASN bukan Aparatur Sipil Pemerintah tapi Aparatur Sipil Negara.

Filosofi inilah yang harus dipahami bersama bahwa identitas yang melekat pada ASN adalah identitas negara. Dalam kontrak kerjanya, ASN perlu dibatasi mimpinya untuk 'menggadaikan' pengabdian itu untuk kepentingan segelintir golongan tertentu.

Anggapan bahwa pelayanan publik itu berbelit, lambat, mahal, tidak pasti dan melelahkan harus dikikis habis oleh ASN.

Enam aspek yang digunakan dalam pengukuran indeks pelayanan publik, semua ASN yang bekerja pada unit layanan publik tersebut harus selalu dipacu untuk berlomba-lomba memenuhinya.

Enam aspek itu yaitu pemenuhan Kebijakan Pelayanan (standar pelayanan, maklumat pelayanan dan survei kepuasan masyarakat), peningkatan Profesionalisme SDM, peningkatan kualitas Sarana dan Prasarana, pemanfaatan Sistem Informasi Pelayanan Publik (SIPP), pengelolaan konsultasi dan pengaduan masyarakat, serta penyelenggaraan inovasi dalam pelayanan publik.

ASN yang tidak mengabdi pada masyarakat adalah pangkal masalah netralitas ASN.

Baca juga: Menpan-RB sebut ASN bukan milik cabang kekuasaan eksekutif

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020