Ini suatu 'warning' bagi kita semua, baik pendidik, pemerintah, masyarakat untuk mewaspadai
Jakarta (ANTARA) - Dosen Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) M Najib Azca PhD menilai perlunya ada program dan pendekatan baru untuk mencegah adanya intoleransi di lingkup pendidikan.
Najib Azca dalam rilisnya diterima di Jakarta, Sabtu, mengatakan kasus intoleransi di lingkungan pendidikan akhir-akhir ini sudah meresahkan.
Baca juga: MPR ingatkan intoleransi ancaman kemajuan bangsa
“Saya kira sudah cukup banyak riset menemukan bahwa ada tren meningkatnya intoleransi atau radikalisme di sekolah atau kampus. Ini suatu 'warning' bagi kita semua, baik pendidik, pemerintah, masyarakat untuk mewaspadai atau hati-hati terhadap tren seperti ini,” katanya.
Najib mengatakan program untuk mengikis penyebaran intoleransi di lingkungan sekolah harus segera diberlakukan. Salah satunya dengan bergerak melibatkan komunitas kaum muda seperti siswa SMP, SMA dan mahasiswa.
“Karena mereka sendiri yang harus mampu mengenali, mengidentifikasi gejala-gejala misalnya menguatnya intoleransi di lingkungannya, dan itu bisa dilakukan bila mereka terlibat langsung dan proaktif untuk melakukan aktivitas ini. Misalnya terjadinya gejala radikalisasi di lingkungannya teman sebayanya,” ucap Najib.
Baca juga: Menag kecam intoleransi di Solo
"Dengan program itu, mereka (siswa dan mahasiswa) sendiri yang melihat dan mengamati, lalu mencoba mengembangkan upaya-upaya untuk membina damai di lingkungannya," kata dia.
Ia juga menyarankan upaya mengikis intoleransi di sekolah tidak terkesan top down atau dari atas ke bawah.
"Kita harus mampu menyemai teman-teman muda untuk proaktif merawat toleransi, perdamaian di lingkungannya dengan cara-cara yang sesuai dengan kemudaan mereka. Soalnya kalau menggunakan cara orang tua, kadang-kadang gak cocok,” tutur Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM itu.
Cara-cara yang dipakai, kata Najib, dengan menggunakan platform TikTok atau Podcast. Menurutnya, penggunaan media baru dalam membangun toleransi di kalangan muda sangat penting ketika sasarannya adalah anak muda.
Sementara cara-cara lama atau cara ala orang tua dinilai tidak akan menyambung dengan kaum muda karena frekuensi mereka beda.
"Kita harus belajar juga dari anak-anak muda terutama dalam mengemas pesan-pesan damai, pesan-pesan kontra ekstremisme dengan cara-cara anak muda," katanya.
Baca juga: Pendidikan etika Pancasila dinilai mendesak diterapkan kepada milenial
Ia menegaskan perlu adanya kombinasi untuk mengatasi masalah tersebut. Artinya, kalau dari sekolah, keberadaan pendidik memang sangat penting karena pada dasarnya sekolah masih menghargai senioritas dan secara hierarki ada guru sebagai pendidik yang memiliki otoritas.
Namun, menurut dia, itu saja tidak cukup, oleh karena itu siswa harus dilibatkan secara langsung, baru setelah itu pemerintah yang wajib ikut terlibat.
Selain itu, ia melihat pelibatan tokoh agama dan organisasi masyarakat juga penting seperti dengan NU, Muhammadiyah, Al Washliyah dan lainnya, sehingga dari titik tersebut program itu juga bisa dianggap sebagai agenda komunitas agama.
Baca juga: Kontrol kurikulum dan pendidik cegah tumbuh intoleransi di sekolah
Ia sendiri pesimistis bila agenda tersebut hanya bertumpu dari pemerintah saja. Pasalnya kalau itu yang terjadi, program dinilai belum berhasil untuk mendiseminasi, me-mainstream-kan, dan memperluas pencegahan dan pendekatan kontra ekstremisme dan radikalisme di lingkungan sekolah.
Hal penting lain, menurut Najib, yakni dilakukannya penguatan wawasan kebangsaan di lingkungan sekolah. Penguatan wawasan kebangsaan itu merupakan suatu paket yang lengkap sebagai upaya meningkatkan pendekatan keagamaan moderat.
Hal itu seperti cara pendekatan yang dilakukan NU dengan Islam Nusantara-nya yaitu pendekatan agama berbasis kebudayaan dan adat.
Baca juga: Mahfud MD: Indonesia hadapi gangguan intoleransi
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020