Doha (ANTARA News/AFP) - Sebuah kelompok gerilya Darfur, Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM), hari Jumat menuduh pasukan Sudan meluncurkan serangan besar-besaran terhadap posisi mereka meski kerangka perjanjian perdamaian telah ditandatangani di Qatar pada Februari.

"Pertempuran berlangsung antara pasukan kami dan tentara, yang meluncurkan serangan dengan belasan kendaraan militer dan sejumlah helikopter terhadap posisi-posisi kami di Jebel Jalik," 25 kilometer sebelah selatan markas JEM Jebel Moon di Darfur Barat, kata juru bicara kelompok itu, Ahmad Hussein Adam, kepada AFP.

"Komandan-komandan kami di lapangan memberi tahu kami bahwa pertempuran masih terus berlangsung. Tidak ada keterangan mengenai korban namun kami yakin pejuang kami akan memukul mundur penyerang," katanya.

"Serangan ini merupakan salah satu dari banyak pelanggaran atas perjanjian perdamaian sejak Selasa. Militer antara lain juga membom sumur yang melukai 17 orang dan membinasakan ratusan sapi," katanya.

Adam mengecam kebungkaman penengah perdamaian dan pasukan penjaga perdamaian PBB-Uni Afrika (UNAMID) dan mengatakan, JEM akan "menilai situasi mengenai apakah melanjutkan proses perdamaian atau tidak".

Pekan lalu, kelompok gerilya utama itu menuduh militer Sudan melancarkan serangan terhadap mereka di Darfur dan berusaha melakukan penyelesaian militer di wilayah Sudan barat yang dilanda perang itu.

Pemerintah Sudan dan JEM, satu dari dua kelompok gerilya utama di Darfur, menandatangani perjanjian dan kerangka kesepakatan di ibukota Qatar pada 23 Februari, dan perjanjian final telah diharapkan bisa ditandatangani sebelum 15 Maret.

Namun, perundingan perdamaian lebih lanjut antara JEM dan pemerintah Sudan, yang diadakan di Doha, ibukota Qatar, macet sejak gencatan senjata Februari, dan batas waktu 15 Maret untuk menyelesaikan perjanjian itu terlewatkan.

JEM pada 29 Maret mengancam memulai lagi perjuangan bersenjata mereka jika perundingan mencapai titik kebuntuan.

Maju-mundur proses perdamaian antara kedua pihak berlangsung sejak tahun lalu.

Pemberontak Darfur mengadakan dua babak perundingan dengan para pejabat pemerintah Khartoum di Qatar pada Februari dan Mei 2009.

Pada Februari tahun lalu, JEM menandatangani sebuah perjanjian perdamaian dengan pemerintah Khartoum mengenai langkah-langkah pembangunan kepercayaan yang bertujuan mencapai perjanjian perdamaian resmi.

Pada Mei, JEM sepakat memulai lagi perundingan dengan Khartoum yang dihentikannya setelah pengadilan internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Presiden Sudan Omar Hassan al-Beshir karena kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur, Sudan barat.

Perundingan antara pemerintah Khartoum dan pemberontak Darfur untuk mengatasi konflik itu telah ditunda beberapa kali pada tahun lalu.

Perundingan yang dituanrumahahi Qatar itu sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 28 Oktober namun pertemuan tersebut ditunda sampai 16 November karena waktunya bertepatan dengan pertemuan puncak Uni Afrika. Jadwal terakhir itu pun ditunda hingga waktu yang belum ditentukan, kata penengah PBB dan Uni Afrika.

Ketegangan meningkat di Sudan setelah Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) pada 4 Maret 2009 memerintahkan penangkapan terhadap Beshir.

Jurubicara ICC Laurence Blairon mengatakan kepada wartawan di pengadilan yang berlokasi di Den Haag, surat perintah penangkapan terhadap Beshir itu berisikan tujuh tuduhan -- lima kejahatan atas kemanusiaan dan dua kejahatan perang.

Sudan bereaksi dengan mengusir 13 organisasi bantuan dengan mengatakan, mereka telah membantu pengadilan internasional di Den Haag itu, namun tuduhan tersebut dibantah oleh kelompok-kelompok bantuan itu.

Sejumlah pejabat PBB yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan, pengusiran badan-badan bantuan itu akan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi rakyat Darfur.

Para ahli internasional mengatakan, pertempuran enam tahun di Darfur telah menewaskan 200.000 orang dan lebih dari 2,7 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka. Khartoum mengatakan, hanya 10.000 orang tewas.

PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur, pada 2003, ketika pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan kekuasaan. (M014/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010