Jakarta (ANTARA News) - Komisi VII DPR berencana memanggil sejumlah menteri yang terkait dengan berakhirnya kontrak kerja sama Indonesia dan Jepang di proyek PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) pada 2013.

Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsya di Jakarta, Kamis mengatakan, pihaknya akan meminta penjelasan kelanjutan Inalum setelah berakhirnya kontrak pada 2013. "Kami akan agendakan pemanggilan dalam waktu dekat," katanya.

Anggota Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana menambahkan, para menteri yang akan diminta keterangannya antara lain Menteri ESDM Darwin Saleh, Menteri BUMN Mustafa Abubakar, dan Menteri Perindustrian, serta Gubernur Sumut Syamsul Arifin.

Ia mengatakan, karena bersifat "build, own, transfer" (BOT), maka seharusnya kontrak Inalum tidak perlu diperpanjang lagi setelah 2013. "Kontrak sudah selesai, jadi kita bisa menasionalisasikan Inalum," katanya.

Menurutnya, pemerintah sudah harus menyiapkan sumber daya manusia yang akan mengelola Inalum sejak sekarang. "Sehingga, saat kontrak berakhir 2013, kita sudah siap mengoperasikannya," ujarnya.

Ekonom dari UGM Revrisond Baswir mendukung rencana DPR memanggil menteri-menteri terkait untuk dapat diambil sikap yang jelas.

"DPR dan pemerintah harus mencapai kesepakatan bersama yakni mengambil alih Inalum," katanya.

Intinya, ia menambahkan, persoalan Inalum harus menjadi keputusan nasional yang berpijak pada amanat konstitusi.

"Jangan sampai lobi-lobi Jepang mempengaruhi keputusan pejabat Indonesia," katanya.

Revrisond melanjutkan, sesuai UUD, Inalum termasuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga mesti dikerjakan sendiri.

Ia juga menyarankan, Inalum dikelola oleh BUMN seperti PT Aneka Tambang Tbk atau PT Timah Tbk.

Menurut dia, Jepang bisa saja membeli produk alumunium Inalum, namun mesti melalui mekanisme jual dan beli seperti biasa.

"Dengan demikian, pasokan alumunium ke Jepang tetap terjamin," katanya sambil meminta pengelolaan Inalum mengikutsertakan pemda setempat.

Transparan

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Heru Dewanto mengatakan, pemerintah harus transparan atas negosiasi Inalum dengan Jepang.

Menurut dia, jika tertutup dalam negosiasi, maka bisa menimbulkan dugaan pemerintah sebenarnya punya agenda memperpanjang kontrak.

Sedangkan, sesuai asas BOT, maka begitu masa kontrak berakhir, semestinya dikembalikan ke pemerintah.

Jepang saat ini menguasai 58,9 persen saham Inalum melalui Nippon Asahan Alumminium (NAA). Sementara, pemerintah Indonesia hanya memiliki 41,1 persen.

Saham NAA dikuasai 50 persen oleh Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan 50 persen milik swasta Jepang.

Masa berlaku "build, operate and transfer" (BOT) Inalum akan berakhir 2013.

Sesuai kontrak, tiga tahun sebelum masa berlaku BOT habis, bisa diajukan perpanjangan dan NAA telah menyampaikan permintaan perpanjangan kepada Pemerintah Indonesia melalui surat No SCNA-001 tertanggal 26 September 2009.

Pemerintah telah menunjuk Menteri Perindustrian MS Hidayat yang akan mewakili pemerintah memimpin jalannya proses negosiasi dengan pihak Jepang (NAA).

Jepang berkepentingan agar BOT Inalum diperpanjang guna mengamankan pasokan aluminium di Negeri Sakura tersebut.

Saat ini, sebanyak 60 persen dari produksi alumunium Inalum sebesar 225 ribu ton, diekspor ke Jepang. (*)
K007/S025

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010