Jakarta (ANTARA News) - Kuasa hukum PT Duta Wisata Lokal (DWL) Agustinus Dawarja di Jakarta, Kamis mengatakan ada sejumlah kejanggalan atas keluarnya sita jaminan (consevatoire beslag) Mal Pluit Village oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
"Kita sudah melaporkan tiga oknum hakim PN Jakarta Utara secara tertulis Senin (26/4) kepada Mahkamah Agung, Satgas Hukum dan Komisi Yudisial atas putusan sita jaminan yang tidak sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung No 5/1975 dan prosedur hukum perdata," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Sejumlah kejanggalan itu, menurut Agustinus, adalah penetapan sita jaminan itu dilakukan sebelum masuknya proses pembuktian di pengadilan, dalam waktu lima hari sita jaminan itu dikabulkan, sita jaminan juga tidak dibacakan pada sidang yang terbuka untuk umum.
"Jawaban dari kita saja belum masuk , pembuktikan belum dimulai, tahu-tahu dikabulkan sita jaminannya. Anehnya kita tidak diberi tahu adanya sita jaminan," katanya.
Ditambahkannya, penetapan sita jaminan tersebut, tidak mempertimbangkan keseimbangan antara nilai tuntutan dalam pokok perkara dengan nilai objek sita jaminan.
Apalagi, sita jaminan tersebut mengabaikan fakta dan data bahwa luas tanah lahan objek sita jaminan mencapai 44.040 m2 ditambah luas bangunan Mal Pluit Village yang bertingkat empat didirikan di atas tanah tersebut, sedangkan luas lahan sewa yang jadi pokok acara seluas 13.298 m2.
"Yang dipersoalkan adalah hak sewa tetapi kenapa HGB yang disita. Ibarat yang dipersoalkan sebuah sudut kecil dari meja tetapi yang disita seluruh mejanya," katanya.
Menurut Dawarja, penetapan sita jaminan itu mengabaikan fakta bangunan yang dimohonkan sita jaminan adalah bangunan yang berdasarkan perjanjian BOT harus diserahkan pada Pemda DKI Jakarta di masa akhir perjanjian BOT.
"Jadi tanah dan bangunan mal yang disita merupakan bagian perbendaharaan Daerah DKI Jakarta," katanya
Konflik antara PT Carrefour Indonesia dan PT Duta Wisata Lokal yang mengelola Mal Pluit Village berawal dari tidak diperpanjangnya kontrak Carrefour di mal tersebut karena PT Carrefour menyewa lahan di areal PV seluas 13 ribu meter persegi yang melanggar Perda No 2/2002 tentang Perpasaran Swasta. Perda itu menetapkan batas maksimum 8.000 meter persegi.
PT DWL pada 27 Februari membatalkan kesepakatan dengan Carrefour. Carrefour keberatan dan menggugat ke PN Jakut pada 8 Oktober 2009. Kemudian, pada 7 Januari 2010, Carrefour mengajukan permohonan sita jaminan kepada Ketua PN Jakut. Gugatan itu dikabulkan berselang lima hari kemudian.
Dalam gugatannya di PN Jakarta Utara, hakim kemudian mengabulkan sita jaminan terhadap kekayaan tergugat, karena penggugat khawatir pelapor mengalihkan harta kekayaannya menghindari gugatan atau tidak melaksanakan isi putusan PN Jakarta Utara.
Menurut Dawarja, kesepakatan dalam perjanjian Lease Agreement tuntutan ganti rugi Carrefour mestinya disampaikan melalui Badan Arbitrase Nasioal Indonesia (BANI) bukan melalui Pengadilan Jakarta Utara, karena hukum acara yang berlaku di BANI tidak mengenal lembaga sita jaminan.
Dia juga menilai, Carrefour telah menyiasati dengan melakukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta utara dengan dalih gugatan DWL melakukan perbuatan melawan hukum.
Padahal, lanjutnya, fakta tindakan perbuatan melawan hukum perkaranya sedang dalam proses pidana di tingkat penyidikan penuntut umum.
Perbuatan melawan hukum itupun belum diputuskan sehingga belum terbukti kebenarannya, bahkan salah satu pokok perkara gugatan mengenai pemadaman listrik telah ditetapkan penyidik Polda Metro Jaya dihentikan penyidikannya sebab tidak memenuhi unsur pidana.
(B013/A011)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010