Kalangan ibu rumah tangga dari Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Riau itu menilai 14 kriteria parameter engukur kemiskinan sudah tidak layak digunakan lagi dan sudah tidak relevan lagi untuk menjelaskan realitas kemiskinan dewasa ini.
Seperti halnya di Riau, dari 14 kriteria yang dijadikan sebagai indikator kemiskinan yang tidak mengacu kepada fakta dan kebenaran di lapangan.
"Contohnya BPS menyebut salah satu kriteria kemiskinan yakni rumah berlantai tanah dan berdinding bambu, rumbia atau kayu berkualitas rendah. Padahal realitas yang ada saat ini menunjukkan model rumah seperti itu sulit ditemukan, tidak hanya di kota, bahkan desa sekalipun," ujar salah seorang peserta SRMI, Sri Lestari dalam orasinya.
Kemudian, lanjutnya, kriteria standar garis kemiskinan yang ditetapkan sebesar Rp200.262 per kapita dinilai tidak lagi sesuai dengan kondisi ril di lapangan apalagi Riau merupakan provinsi dengan tingkat kemahalan lebih tinggi dibandingkan provinsi lain.
Tenaga pencacah data BPS juga dikeluhkan warga karena sering bermasalah menyusul rekrutmen yang tidak ketat dan kredibel sehingga banyak petugas survei asal "tembak" dalam melakukan pencacahan data.
"Dalam melakukan pendataan di lapangan, para pencacah data BPS masih berpaku pada birokrasi lokal seperti kepala desa hingga tingkatan terendah. Akibatnya validitas data yang dihasilkan itu masih diragukan," tegasnya.
Para ibu rumah tangga mendesak BPS segera mengubah kriteria kemiskinan yang ditetapkan dengan mengacu kepada fakta dan kebenaran di lapangan serta kebutuhan layak seorang manusia. (*)
M046/E010/AR09
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010