Jakarta (ANTARA News) - Ajang pamer diri berbagai negara di kancah internasional melalui "World Expo" atau Pameran Dunia -- yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali -- akan dibuka untuk umum pada 1 Mei mendatang di Shanghai, China.

Ajang bergengsi tersebut menjadi magnet bagi warga dunia karena bisa mengunjungi seluruh negeri yang terwakili lewat paviliun negara.

Setiap paviliun negara menjadi presentasi jati diri bangsa itu. Pengunjung tidak hanya mendapatkan kesan, tapi juga bisa mempelajari dan memahami budaya, cara berpikir, obsesi, dan kemajuan yang telah dicapai bangsa tersebut.

Pameran Dunia pertama kali diselenggarakan di The Crystal Palace, Hyde Park, London (Inggris), pada 1851 dengan tema "Great Exhibition of The Works of Industry All Nations" atau Pameran Besar Karya Industri Semua Bangsa.

Dari ajang pamer kemajuan industri pada periode 1851-1938, Pameran Dunia berevolusi menjadi ajang komunikasi lintas budaya (1939-1991), yang kemudian berkembang lagi menjadi ajang pencitraan suatu negara atau nation branding (1992-kini).

Pameran Dunia juga menjadi acara internasional ketiga terbesar setelah Olimpiade dan Piala Dunia dalam skala Bureau International des Expositions (BIE).

Pemerintah Indonesia tidak mau ketinggalan memanfaatkan pentas tersebut untuk melakukan pencitraan bangsa, di tengah kemelut dalam negeri yang terus dihantam oleh pemberitaan seputar korupsi, terorisme, kerusuhan, bencana alam dan lain-lain.

Menteri Perdagangan Mari E Pangestu mengatakan keikutsertaan Indonesia pertama kali pada ajang tersebut, tidak hanya untuk gengsi semata, namun kesempatan strategis bagi Indonesia untuk mempromosikan kemajuan yang dicapai di berbagai bidang, di samping unjuk kekayaan dan keragaman budaya dan hayati Nusantara.

"Indonesia saat ini adalah negara demokrasi yang berkembang dengan pesat, dengan pembangunan ekonomi, politik, dan sosial yang lebih stabil. Tantangan tetap ada, tapi kami bekerja keras untuk menjadi bangsa yang maju sejajar dengan negara maju saat ini," kata Mari yang juga Ketua Panitia Indonesia untuk Pameran Dunia 2010.

Indonesia sebenarnya pernah mengikuti Pameran Dunia tersebut pada 1893 di Chicago, Amerika Serikat. Namun nama yang dipakai pada saat itu adalah Hindia Belanda. Pada ajang itulah Kopi Jawa (Java Coffe) diperkenalkan pada dunia.

Kemudian pada 1964 Indonesia juga pernah tampil di New York, Amerika Serikat, dalam bentuk paviliun bersama.

Pameran Dunia yang ke-53 ini, Indonesia tampil mandiri sebagai sebuah bangsa dengan keragaman budaya dan hayati yang mempesona dunia.

Bersaing

Pada Pameran Dunia setiap negara berupaya semaksimal mungkin memanfaatkan paviliun sebagai ajang presentasi diri mereka, sehingga paviliun dibuat dengan konsep yang matang, agar memikat mata pengunjung, yang ditaksir mencapai 70 juta orang itu .

Namun, tak mudah memberi kesan pada pengunjung perhelatan agung itu, karena persaingan yang berat untuk mencuri perhatian selama enam bulan, mengingat 192 negara di dunia tampil pada ajang itu baik dengan paviliun mandiri maupun paviliun bersama.

Apalagi penyelenggara akan melakukan lomba. Sepuluh paviliun terbaik tidak akan dirubuhkan setelah pameran usai 1 Oktober 2010.

Sepuluh paviliun itu kelak akan bersanding dengan paviliun tuan rumah yang biasanya menjadi monumen bangsa setelah pameran berakhir, seperti Menara Eiffel (Perancis) yang kini menjadi simbol Paris merupakan paviliun Perancis pada Exposition Universelle tahun 1889 serta Museum Sain dan Industri di Chicago (AS).

Pada pameran pertama secara mandiri di Pameran Dunia ke-53 itu, pemerintah mengusung tema "Indonesia Is Biodiversity City." Tim Kreatif Panitia Indonesia untuk World Expo 2010, Indrani Buntarian, mengakui tema yang diangkat oleh Indonesia dalam pentas dunia itu terkait dengan tema besar yang diusung tuan rumah yaitu "Better City, Better Life."

"Indonesia juga mengalami kemajuan di berbagai bidang, dengan tren urbanisasi yang sama dengan negara maju lainnya, tapi nilai-nilai lokal masih dipakai yaitu menyatu dengan alam," ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Indrani, paviliun Indonesia menampilkan suasana perkotaan yang dilengkapi dengan teknologi untuk menggambarkan perkembangan masyarakat Indonesia yang tidak meninggalkan nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Rentangan bambu setinggi 15 meter di atas atap paviliun, kata dia, menjadi simbol keterbukaan masyarakat Indonesia, yang diharapkan mampu mencuri perhatian pengunjung untuk masuk ke dalam.

Paviliun Indonesia berdiri di atas lahan seluas 4.000 meter persegi, berlokasi di Zona B, yang berdekatan dengan paviliun Australia, Brunei Darussalam, dan Kamboja, serta paviliun sejumlah organisasi dunia.

"Kami ingin mengangkat hal positif yang Indonesia punya. Masyarakat Indonesia tidak bisa diseragamkan dan diberi label tertentu, karena masyarakat dan budaya Indonesia dari Sabang dan Merauke tidak sama," ujarnya.

Oleh karena itu, ornamen Candi Borobudur, berbagai alat musik daerah, sampai dengan diorama yang menggunakan teknologi tinggi untuk menggambarkan keragaman hayati menjadi keunggulan paviliun itu.

Hal menarik lain yang ada di paviliun Indonesia adalah keberadaan patung Laksamana Cheng Ho. Indonesia tampaknya ingin menarik pengunjung, yang diperkirakan sebagian besar dari China itu, untuk mengenal Indonesia lebih jauh.

Laksamana dari daratan China itu pada 600 tahun lalu, sebenarnya telah memulai hubungan diplomatik, perdagangan, dan seni budaya dengan Indonesia.

Pemerintah mengalokasikan biaya sebesar 10 juta dolar AS untuk membangun paviliun di ajang Pameran Dunia. Dengan dana sebesar itu tampaknya paviliun Indonesia akan tampak lebih sederhana ketimbang negeri lain.

Negara-negara lain mengalokasikan biaya berlipat ketimbang Indonesia. Sebut saja Paviliun Perancis yang menyerap dana sampai 80 juta dolar AS, Korea Selatan sebesar 20,7 juta dolar AS, dan Finlandia sebesar 18 juta dolar AS.

Jumlah dana yang dikeluarkan Indonesia itu relatif kecil, mengingat negara Indonesia merupakan salah satu negera terbesar dengan penduduk di atas 200 juta jiwa, dengan pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga setelah China dan India.

Entah berapa berapa yang kocek yang dikeluarkan China untuk membangun paviliun megah yang nampak seperti "Kota Terlarang" (Forbidden City) atau Uni Emirat Arab yang tampil dengan konsep gundukan gurun yang nampak cantik dan mewah.

Strategis

Indonesia memang bukan ingin menampilkan kemegahan di ajang dunia tersebut, namun ingin membidik nilai strategis dari pentas dunia itu.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menegaskan partisipasi Indonesia pada Pameran Dunia itu memiliki arti penting untuk memperkenalkan Indonesia sebagai bangsa yang memiliki visi dan warisan budaya yang hidup dan dinamis.

"Setiap aspek bangunan di paviliun itu mencerminkan siapa kita sesungguhnya, yaitu bangsa yang memiliki keragaman, harmonis, terbuka, berwawasan modern, dan terus melangkah maju," katanya.

Ia berharap berbagai aspek yang disajikan dalam Indonesia mini di Pameran Dunia itu mampu mendapat perhatian dan kepercayaan dari investor dan pelaku usaha, wisatawan, konsumen, media, negara/masyarakat pendonor, dan pemerintah negara lain tentang potensi negeri ini.

Tidak itu saja. Kehadiran Indonesia di Pameran Dunia, kata Mendag, juga merupakan simbol penting bagi hubungan diplomatik Indonesia dengan China selaku tuan rumah.

"Partisipasi Indonesia (pada Pameran Dunia di Shanghai) tersebut menjadi simbol penting hubungan kedua negara yang lebih maju," ujarnya.

Hubungan RI dengan China secara diplomatik telah dimulai sejak 13 April 1950. Namun hubungan itu mengalami pasang surut, dan pernah beku pada masa pemerintahan awal pemerintahan Orde Baru, yaitu 30 Oktober 1967. Namun kemudian mencair dengan ditandatanganinya nota kesepahaman ("MoU on The Resumption of Diplomatic Relation RI-RRC") di Jakarta pada 8 Agustus 1990.

Pada 25 April 2005 lalu hubungan kedua negara menapaki tahap yang lebih tinggi dengan adanya penandatangan Deklarasi Bersama Kemitraan Strategis RI-China oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Hu Jintao di Jakarta, yang antara lain menyepakati peningkatan hubungan ekonomi.

"Pemerintah Indonesia mengharapkan setelah 60 tahun hubungan diplomatik kedua negara berjalan, hubungan tidak hanya terjadi pada tataran antar pemerintahan, tetapi juga antar pelaku bisnis, serta yang terpenting antar masyarakat kedua negara," ujar Mari.

Oleh karena itu, ia menilai kehadiran Indonesia yang menunjukkan dinamika dan keragaman budaya juga penting agar pengunjung Pameran Dunia yang sebagian besar berasal dari China dapat memahami budaya Indonesia yang telah mendapat banyak pengaruh dari negeri tuan rumah itu, antara lain busana muslim dengan kerah Shanghainya, beduk di masjid yang dipukul sebelum azan untuk memanggil masyakarat muslim menunaikan shalat, dan batik Lasem

"Kami berharap kehadiran Indonesia dalam Pameran Dunia di Shanghai juga dapat membawa hubungan Indonesia dan China ke tingkat yang lebih baik di masa depan," ujar Mari.

(T.R016/T010/S026)

Oleh Oleh Risbiani Fardaniah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010