Beijing (ANTARA) - Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang menyerahkan sepenuhnya urusan ibadah haji warga Muslim setempat ke Tanah Suci kepada Asosiasi Islam China (CIA).
"Rencana ibadah haji tahun depan tergantung CIA, apakah sudah dapat izin untuk melakukan perjalanan ke Mekkah, Arab Saudi, atau tidak," kata juru bicara Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang, Elijan Anayat, menjawab pertanyaan ANTARA Beijing melalui sambungan video, Rabu malam.
Pada tahun ini CIA menangguhkan keberangkatan jamaah haji dari China, termasuk Xinjiang, terkait dengan pandemi COVID-19.
Penangguhan tersebut juga sesuai dengan kebijakan pemerintah Arab Saudi yang memang tidak memberikan izin kepada warga negara asing untuk menunaikan rukun Islam kelima itu.
Elijan membantah tuduhan pengekangan ibadah, termasuk ibadah haji, terhadap etnik minoritas Muslim Uighur yang merupakan penduduk mayoritas Xinjiang.
"Sejak tahun 1996 hingga 2019, tercatat 50.000 umat Islam Xinjiang yang berangkat ke Mekkah dengan menggunakan pesawat carter," ucapnya dalam telekonferensi terbatas di gedung utama Kementerian Luar Negeri China (MFA) di kawasan Chaoyangmen itu karena biasanya digelar di Pusat Pers Internasional Gedung Selatan.
Menurut dia, jamaah haji asal Xinjiang mendapatkan pelayanan istimewa dari pemerintah China selama di Tanah Haram, seperti pendampingan penerjemah, perawatan kesehatan secara rutin, dan pelayanan lainnya.
Dalam kesempatan itu, Elijan juga membantah tuduhan perusakan masjid karena yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintahannya adalah justru pembangunan dan perbaikan.
Untuk mendukung pernyataan tersebut, Elijan mempertontonkan rekaman video masjid di beberapa kota di Xinjiang, seperti Kashgar, Hotan, Yecheng, Turban, dan Aksu dilengkapi wawancara dengan jamaah dan pengurus masjid.
Menanggapi pertanyaan tentang para lulusan kamp pendidikan dan pelatihan vokasi, dia menyebutkan kontribusi mereka yang cukup signifikan dalam menggerakkan industri lokal.
"Begitu selesai pendidikan, mereka sudah bekerja sesuai bidangnya masing-masing. Ada yang di pabrik garmen, makanan dan minuman, perakitan peralatan elektronik, percetakan, salon, e-dagang, peternakan, buruh rumah tangga, toko bunga, pelukis, panggung pertunjukan, dan profesi lainnya," ujarnya.
Pernyataan tersebut juga didukung oleh video yang menggambarkan kesibukan baru para lulusan kamp konsentrasi yang menjadi sorotan pengawas HAM internasional itu.
"Sekarang saya bisa hidup bahagia setelah bekerja di salon dengan gaji 3.000 yuan (Rp6,4 juta) per bulan," kata seorang perempuan beretnis Uighur dalam tayangan video tersebut. (T.M038)
Baca juga: Asosiasi Islam Xinjiang desak AS hentikan politisasi agama
Baca juga: China klarifikasi pernyataan Pompeo soal komunitas Muslim Uighur
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Suharto
Copyright © ANTARA 2020