Jayapura (ANTARA) - Selasa(17/11) siang itu tidak tampak antrean seperti bulan-bulan sebelumnya di tenda darurat yang disediakan oleh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dok II Jayapura, Papua, bagi masyarakat yang hendak menjalani tes usap (swab) dengan metode pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR).

Hanya tampak seorang wanita setengah baya menunggu giliran untuk dites oleh petugas rumah sakit. Dari kejauhan muncul seorang pria sekitar 41 tahun dengan alat pelindung diri (APD) berupa masker, penutup wajah, kacamata, sarung tangan dan pelindung tubuh. Di tangannya, ada perlengkapan medis untuk melakukan tes usap.

Pria paruh baya tersebut adalah Hamid, Kepala Ruangan Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dok II Jayapura yang sejak Maret 2020 ketika kasus pertama Coronavirus Disease 2019 atau COVID-19 ditemukan di Provinsi Papua sudah ditugasi untuk menangani pasien corona ini.

Ketika Hamid selesai melakukan tes usap pada si wanita setengah baya tersebut, jam di tangan sudah menunjukkan pukul 11.45 Waktu Indonesia Timur (WIT), dan sudah waktunya para petugas yang melayani di tenda darurat tersebut untuk beristirahat dan kembali ke ruangan.

"Biasanya kami mulai pelayanan sejak pukul 09.00 WIT hingga 12.00 WIT, namun jika ada pasien dadakan dari unit gawat darurat (UGD), tetap kami layani untuk tes usap," kata Hamid, bapak tiga anak ini, kepada Antara.

Hamid mengajak Antara duduk di dalam tenda darurat tersebut untuk berbincang mengenai tugasnya sejak pandemi COVID masuk di Papua, tak lupa masker dan APD lainnya digunakan selama perbincangan.

Sebelumnya, Hamid bersama satu rekan dokter ditunjuk oleh manajemen RSUD Dok II Jayapura untuk mengikuti pertemuan terkait COVID-19 di Jakarta pada Maret 2020, namun tiba-tiba pandemi tersebut mulai menyebar sehingga dalam kesempatan tersebut, dirinya langsung diberi pelatihan singkat dan mempraktikkan cara pengambilan sampel dari tes usap melalui video yang ditonton.

"Setelah kembali ke Jayapura, selang beberapa hari muncul kasus pertama di Papua dan kebetulan dirawat di RSUD Dok II Jayapura," ujar Hamid sembari menggambarkan rasa kecemasannya karena ketika itu banyak sekali beredar berita tenaga medis yang terpapar dan pada akhirnya meninggal.

Hamid mengaku memiliki banyak penyakit penyerta sehingga tugasnya untuk mengambil sampel melalui tes usap sangat membuat khawatir, baik dirinya maupun pihak keluarga.

"Jadi kasus COVID-19 pertama di Jayapura itu saya yang lakukan tes usap pada pasien. Jujur, saya takut dan gelisah karena komorbid (penyakit penyerta) yang saya miliki banyak," katanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca dan suara yang mulai bergetar.

Butuh sekitar dua sampai tiga menit untuk memberikan Hamid waktu menenangkan perasaannya ketika berbincang dengan Antara. Beberapa saat kemudian dia mulai meneteskan air mata dan suaranya memelan.

Bagi Hamid, tidak ada pilihan lain karena ketika itu hanya dialah yang dapat menjalankan tugas melakukan tes usap dan belum ada tenaga medis lain yang mau menggantikan atau mendampinginya selain satu rekan dokter yang telah sejak awal bersamanya menangani pasien COVID-19.

Sejak menangani pasien positif COVID-19 pertama, dirinya sudah tujuh kali menjalani tes usap dan hingga kini hasilnya selalu negatif, namun ketakutan akan terpapar masih saja menghantuinya.

"Setiap masuk untuk melakukan tes usap, saya dan rekan dokter saling menguatkan dan tidak lupa memanjatkan doa agar diberi kesehatan serta tidak terpapar virus karena harus melayani masyarakat," katanya.

Pria yang istrinya pernah terkonfirmasi positif COVID-19 ini bercerita bahwa keluarga besarnya, yakni ibunya, setelah mengetahui pekerjaan baru Hamid, berulang kali memaksa agar dia berhenti bekerja karena khawatir akan ikut terpapar.

"Saya sudah sampaikan kepada keluarga besar, jika saya bisa keluar, maka saya akan keluar, tetapi tidak ada yang mau menggantikan tugas saya. Akhirnya dalam kesepakatan bersama dicari solusi bahwa saya harus mengonsumsi rebusan rempah-rempah, seperti kunyit, jahe merah dan madu," tuturnya.

Ketakutan akan terpapar sangat mengintimidasi pasikis Hamid, apalagi ketika sang istri dikonfirmasi positif COVID-19, sehingga membuatnya harus menutupi kondisi tersebut ketika sang istri harus diisolasi di pusat karantina milik Pemerintah Kota Jayapura.

Berbekal alasan tenaga medis harus dikarantina dari keluarga selama pandemi, Hamid pun ketika ditanyai keluarga terkait keberadaan istri terus menutupi dengan banyak hal.

Setelah sang istri keluar dari pusat karantina, baru Hamid memberitahu pihak keluarga dan mencoba memberikan pemahaman bahwa tidak semua yang terpapar virus ini berakhir dengan meninggal dunia. Semua itu tergantung dari kondisi kekebalan tubuh masing-masing orang.

"Misalnya saya dan istri, meskipun istri positif, namun saya ternyata negatif. Ini menunjukkan tipe virus ini tidak semuanya ekstrim dan ganas, kembali ke kekebalan tubuh masing-masing," katanya.

Selain istri yang pernah terkonfirmasi positif, hal terberat lainnya selama melayani masyarakat di masa pandemi ini adalah ketika istri diisolasi di pusat karantina, tiga petugas medis yang menjadi tim Hamid harus turut serta bersama sang istri diisolasi.

Padahal kala itu sekitar April hingga Mei 2020, kasus COVID sedang tinggi-tingginya di Provinsi Papua, yakni tiap hari pasien menumpuk harus dites usap, dan hal tersebut hanya dikerjakan sendiri oleh Hamid.

Kala itu, Hamid rasanya ingin menyerah, namun dorongan untuk terus memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat ternyata lebih besar dan membuatnya bertahan hingga kini.

"Akhirnya selama satu bulan setengah saya dibantu seorang dokter melayani masyarakat di RSUD Dok II Jayapura, hanya kami berdua saja," katanya.

Sehingga selama beberapa bulan, dirinya harus menjalani tes usap sendiri, meng-entry data, membuat laporan, mengantar hasil tes ke Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang), lalu menerima laporan dari dokter dan meneruskan hasil tes kepada masyarakat. Semuanya dilaksanakan sendiri.

Dirinya tidak mengelak jika peralatan, seperti mesin PCR, hingga kini belum dimiliki oleh RSUD Dok II Jayapura sehingga membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan hasil pemeriksaan tes usap.

Intimidasi dari masyarakat karena kesal menunggu hasil tes usap yang lama juga sering sekali dialami Hamid. Memang tidak sampai ada tindak kekerasan fisik, namun kekerasan verbal melalui telepon selular dan pesan singkat sudah tidak bisa dihitung lagi.

"Saya paham kondisi para pasien ini, jadi mau bagaimana lagi, hanya bisa dijalani saja sambil mengucap syukur dan memanjatkan doa agar saya selalu sehat untuk memberikan pelayanan kesehatan," ujarnya.


Stigma negatif

Tak cuma Hamid yang harus merasakan intimidasi karena keluarga besar yang ketakutan akan dirinya terpapar virus ini, sehingga harus menyembunyikan istrinya yang terkonfirmasi positif COVID-19.

Para tenaga medis yang merupakan rekan kerja Hamid pada mulanya juga merasa takut ketika berada di sekitar dirinya, sehingga jika Hamid datang, banyak yang menjauh.

"Bahkan, ada yang sengaja saya sentuh karena bercanda, akhirnya marah-marah karena takut terpapar dan itu membuat hati saya sedih, namun hal ini tidak berlangsung lama. Makin ke sini, rekan-rekan saya sudah mulai paham dengan baik," kata Hamid.

Bagi Hamid, virus ini tidak hanya berdampak bagi kesehatan, tapi juga perlakuan seseorang terhadap orang lain. Sehingga pemahaman dan sosialisasi mengenai COVID-19 harus terus diberikan kepada masyarakat.

YT (bukan nama sebenarnya), seorang wanita paruh baya, juga harus merasakan dampak stigma negatif dari virus tersebut, padahal dirinya tidak terkonfirmasi sebagai pasien positif setelah melakukan tes cepat dan tes usap pada September 2020.

"Kakak kandung saya meninggal dan terkonfirmasi positif COVID sehingga dengan status kontak erat, akhirnya saya menjalani tes usap namun hasilnya negatif, saya tidak terpapar," kata YT kepada Antara sembari menunjukkan hasil pemeriksaan dari RSUD Dok II Jayapura.

YT berkisah mengalami hal yang tidak menyenangkan setelah beberapa temannya mengetahui bahwa dirinya menjalani tes usap.

"Mungkin teman-teman saya takut dekat karena yang awalnya saya diundang ke sebuah acara, tiba-tiba salah satu teman menghubungi melalui telepon selular dan menyampaikan agar saya tidak usah datang ke acara tersebut," ujarnya.

Setelah selesai berbicara dengan temannya di telepon, YT merasa kecewa karena merasa dijauhi oleh lingkungannya.

"Sebenarnya tidak cuma teman-teman jalan saya, sampai tetangga di rumah pun tak lama setelah kakak kandung saya meninggal, masih menjauhi dan seakan-akan takut jika melihat saya beraktivitas di luar rumah," kata pegawai salah satu BUMN tersebut.

YT terus menguatkan diri dan tidak mau tindakan teman serta tetangganya mempengaruhi kejiwaannya.

YT menanamkan sikap bahwa dirinya harus berpikir positif dan menganggap perlakuan lingkungan terhadapnya hanya sementara.

Dan benar, setelah lama berselang, teman-teman dekat YT sudah tidak memperlakukannya seperti dulu. Satu per satu mereka mulai mau bertemu, namun hingga kini lingkungan sekitar rumah tetap menjaga jarak dengan keluarga YT.

"Pandemi ini pasti berakhir sehingga saya percaya semua akan kembali normal. Saya menanamkan pada diri saya bahwa lingkungan pergaulan saya juga pasti bisa seperti dulu lagi," katanya.

Seperti YT, Cempaka (bukan nama sebenarnya), juga mengalami hal yang sama, setelah selesai menjalani isolasi mandiri di rumah selama tiga pekan karena hasil tes usapnya menunjukkan konfimasi positif COVID-19. Ketika dia beraktivitas kembali, banyak orang yang terkesan menjauhi.

"Mungkin teman-teman takut, saya paham, bahkan lingkungan rumah merahasiakan kondisi saya dari tetangga selama diisolasi karena takut dijauhi," kata perempuan berusia 33 tahun tersebut.

Meskipun demikian, Cempaka bertekad dalam hati untuk tidak mengambil pusing perlakuan tersebut dan menanamkan dalam diri harus saling mengingatkan protokol kesehatan kepada teman-temannya.

"Saya terkonfimasi positif pada Oktober dan bersyukur setelah menjalani isolasi, November 2020 sudah dinyatakan sembuh sehingga dapat bekerja dan beraktivitas secara normal lagi," ujar dari ibu dua anak ini.

Dari pengalaman pernah menjadi pasien positif, Cempaka jadi semakin peduli terhadap disiplin protokol kesehatan dan tidak ingin orang lain, apalagi teman atau keluarga, juga terpapar virus ini.

Cempaka, seperti berkewajiban untuk mengingatkan jika ada kenalannya yang tidak mengindahkan protokol kesehatan, seperti memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan dengan sabun.

"Virus ini benar-benar ada, saya termasuk pasien dengan gejala karena sempat merasakan sesak nafas, sakit kepala hingga kehilangan indera penciuman dan perasa, jadi jangan main-main," katanya.


Dukungan semua pihak

Bagi Cempaka, selain isolasi dan menjalani perawatan seperti minum obat, satu hal penting yang membuat dirinya segera pulih adalah dukungan dari suami dan keluarga besarnya.

Suami Cempaka terus menyemangati agar dia tidak stres karena akan membuat kondisi imun atau kekebalan tubuhnya drop sehingga virus di dalam tubuh tidak dapat cepat dihilangkan.

"Suami saya selalu bilang, ayo mama harus sembuh karena anak-anak sudah tunggu untuk main bersama dan tentu saja hal ini membuat saya bertekad untuk segera pulih," kata Cempaka sambil menyeka air matanya.

Perempuan yang dikenal ramah ini mengaku beberapa teman sering berkunjung membawakan sayur dan hadiah-hadiah lucu bagi kedua anaknya. Ini menjadi motivasi dan kekuatan tersendiri baginya untuk segera pulih.

Ketika diisolasi, Cempaka pun mengisi hari-harinya dengan hal-hal yang menyenangkan, mulai dari mendengarkan lagu-lagu kesayangan, menonton drama Korea, sesekali melakukan olahraga yoga, berbincang dengan keluarga melalui video call hingga menyelesaikan pekerjaan kantor yang tertunda.

"Buat saya menyelesaikan pekerjaan kantor yang tertunda itu juga hiburan, mungkin berbeda bagi setiap orang, namun yang ingin saya tekankan adalah ketika kamu dinyatakan terkonfimasi positif COVID-19, tolong jangan terpuruk dalam kesedihan, bangkit dan dijalani dengan ikhlas, niscaya berkah," katanya.

Hal senada juga disampaikan Hamid, petugas tes usap di RSUD Dok II Jayapura, dirinya berpesan kepada para tenaga medis agar tetap ikhlas melayani pasien selama masa pandemi ini.

Dirinya meyakini bahwa saat ini banyak orang yang mendoakan para tenaga medis ini.

"Satu hal yang juga menguatkan saya dan akhirnya bisa bertahan hingga kini adalah kata-kata seorang ibu pendeta kepada saya bahwa nama saya dan teman-teman saya selalu disebut dalam doa agar diberi kekuatan untuk melayani para pasien di masa pandemi," ujar Hamid.

Hamid juga mendoakan rekan-rekan tenaga medis yang kini sedang melayani pasien-pasien COVID agar selalu diberi kesehatan dan kesabaran serta keamanan.

"Meskipun upah kami belum dibayar secara full sejak pandemi ini ada, namun saya yakin upah kami besar di surga," katanya menutup perbincangan sambil tersenyum.

Meskipun secara umum kasus COVID-19 kini sudah mulai melandai, namun ancaman virus itu belum sepenuhnya habis. Karena itu masyarakat hendaknya tetap waspada dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan dan tidak lupa memberikan dukungan positif kepada warga yang diketahui positif COVID-19, bukannya malah mengucilkan mereka. Apalagi, jika yang diketahui positif itu adalah tenaga kesehatan yang tenaganya sangat dibutuhkan untuk menangani pasien.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020