Kitong (kita) orang nenek moyang satu, jadi tidak bisa menjadi pemilik tanah

Jakarta (ANTARA) - Berlabuh di dermaga Kota Tidore, Maluku Utara Kapal p
Pinisi Kurabesi Explorer dan anggota Ekspedisi Maluku Yayasan EcoNusa disambut oleh perangkat pemerintahan Kesultanan Tidore saat matahari mulai tertutup awan hujan pada Minggu, 1 November 2020.

"Akhirnya Kapitan Gurabesi kembali ke Tidore lagi," ujar Jou Jau (Perdana Menteri) Kesultanan Tidore M. Amin Faaroek ketika memberikan sambutan di Kedaton Kesultanan Tidore.

Nama Kurabesi, atau yang bisa dikenal juga sebagai Gurabesi, memang memiliki keterikatan sejarah dengan Tidore. Dalam legenda, Kurabesi adalah pelaut tangguh asal Raja Ampat di Papua yang berhasil membantu Tidore meraih kemenangan dalam peperangan melawan musuh bebuyutannya Kerajaan Ternate.

Tidak heran bila bumi Kie Raha, sebutan untuk konfederasi empat kerajaan di Maluku Utara, "menyambut" kedatangan kawan lamanya dengan hujan yang mulai mengguyur usai CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar melakukan joko hale atau tradisi menginjakkan rumput bagi tamu diiringi doa-doa sebagai penyambutan bagi mereka yang pertama kali menginjakkan kakinya di tanah Tidore.

Jamuan bersama Kesultanan Tidore adalah awal petualangan ANTARA di wilayah yang dikenal banyak orang di Indonesia sebagai salah satu Kerajaan Islam tertua di Nusantara tersebut.

Menaiki tanjakan dari dermaga langsung terlihat atap kecokelatan kesultanan, menapaki tangga kedaton dan menyeberang ke pelataran, balkon utama langsung terlihat dengan terdapat dua pasang tangga di kanan dan kirinya.

Menurut Jou Ja Amin Faaroek, Kedaton Kesultanan Tidore dibangun berdasarkan anatomi kalajengking jantan, yang merupakan salah satu lambang kesultanan yang berdiri pada 1081 itu.

"Tadi yang menaiki tangga kanan dan kiri, itu berarti tangan kanan dan kiri kalajengking. Kita bersilahturahmi di kepala kalajengking," kata Amin, merujuk kepada posisi balkon utama tempat diadakan jamuan.

Masuk ke dalam kedaton, atau ke arah perut kalajengking, berjejer rapi lemari-lemari tempat baju-baju sultan yang sudah berusia ratusan tahun.

Tepat di tengah terdapat singgasana Sultan Tidore dengan dua kursi, diapit oleh panji-panji kesultanan yang berwarna-warni dengan lambang kalajengking terpampang di masing-masing bendera. Selain itu terdapat pula bendera Kesultanan Tidore

Warna-warna bendera itu bukan hanya sekadar lambang semata, tapi masing-masing menggambarkan bagian dari pasukan Kesultanan Tidore mulai dari intelijen, penyapu ranjau, marinir sampai dengan aparat hukum.

Bendera Kesultanan Tidore sendiri berwarna dasar kuning dengan lingkaran merah melambangkan matahari dan kalimat tauhid di bagian atas tertulis menggunakan warna merah juga. Selain berada di dalam kedaton, bendera itu berdampingan bersama Merah Putih dikibarkan di depan istana yang sempat hancur di awal abad ke-20 itu.

Secara tidak langsung, simbol itu memperlihatkan bahwa Tidore sebagai salah satu unsur penting yang membentuk Indonesia. Dua presiden telah berkunjung ke sana, Presiden Soekarno dua kali pada 1954 dan 1957 serta Presiden Joko Widodo pada 2015.

Beberapa menteri pemerintahan Republik Indonesia juga mendapatkan gelar kehormatan dari Tidore seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mendapatkannya pada 2018.

Selain itu, PM Tidore juga menegaskan betapa beragamnya rakyat kesultanan yang pada masa kejayaannya berkuasa sampai ke Papua tersebut.

"Walaupun Tidore kerajaan Islam tapi sultan punya perangkat kerajaan bukan cuman orang Islam, non-Islam bahkan suku terasing pun mendapat kedudukan terhormat di kedaton, itulah toleransi," ujar Amin.

Tidak hanya masyarakat yang tampak, Kesultanan Tidore juga "memerintah" yang tidak tampak.

Hal itu tampak dari salah satu plakat Sultan di atas singgasana dalam bahasa Arab yang jika diterjemahkan sebagai, "Yang Mulia, aku bertakhta di atas singgasana, memerintah bala rakyat dua bangsa jin dan manusia," ujar Amin menjelaskan tulisan tersebut.

Tidak hanya dalam plakat, dalam upacara pemberian gelar adat pun, Sultan Tidore akan menegaskan kekuasaannya akan dua dunia itu.

Seperti yang terjadi pada 2015 ketika Sultan Tidore H. Husain Syah memberikan gelar adat Biji Nagara Madafolo yang berarti Yang Dipertuan Agung Anak Negara kepada Presiden Joko Widodo.

"Saya Sultan Tidore Haji Husain SH, khalifatul mukaram, memerintah terhadap jin dan manusia, dengan ini mengangkat gelar kehormatan kepada saudara saya Bapak Ir H Joko Widodo, Presiden RI sebagai Biji Nagara Madafolo atau Yang Dipertuan Agung Anak Negara. Semoga Allah SWT, meridhoi dan memberkati kita sekalian," tutur Sultan Tidore di Kedaton Tidore saat itu.

Masuk dari ruangan utama tempat singgasana raja adalah ruangan luas yang merupakan lokasi jamuan makan dengan dinding yang terpajang foto-foto kesultanan di masa lalu dan berbagai sultan yang pernah memegang tampuk kekuasaan.

Di ruangan itu juga terdapat beberapa kamar seperti kamar sultan dan kamar puji yaitu ruang doa yang hanya boleh dimasuki orang tertentu dan digunakan dalam pemilihan sultan.

Meski indah, Sultan Tidore H. Husain Syah, yang menjabat sebagai anggota DPD RI dari Maluku Utara sejak 2019, tidak mendiami kedaton tersebut. Pembiayaan dan pengurusan kedaton juga menjadi tanggung jawab dari pemerintah daerah.

Baca juga: Masyarakat Samo kembalikan pangan lokal lewat festival rakyat

Baca juga: Sali Kecil dan praktik baik jaga alam di tengah keterbatasan

Baca juga: Jasa Gane Dalam untuk Indonesia


Kaya rempah

Bertolak dari kedaton setelah bertemu perangkat Kesultanan Tidore, tim Ekspedisi Maluku EcoNusa bersama ANTARA kemudian berangkat menuju ke kaki gunung Kie Matubu, puncak tertinggi di Pulau Tidore.

Tepatnya tim berangkat menuju Kampung Kalaodi, salah satu desa penghasil rempah cengkih dan pala.

Berbicara soal provinsi Maluku dan Maluku Utara tidak bisa melewatkan membahas soal kisah rempah-rempah. Begitu kayanya tanah Maluku dengan rempah sampai bangsa Eropa mempertaruhkan nyawa menyeberangi lautan mencapai Nusantara untuk mendapatkannya.

Jika petualang Eropa masih mencari rempah hingga kini, mereka pasti akan datang ke Kalaodi yang berada di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut.

Perjalanan menuju Kalaodi ditandai jalanan menanjak dengan jurang dalam tampak di kiri dan kanan jalan. Menghabiskan waktu sekitar 20 menit perjalanan menggunakan mobil dari kedaton, tim disambut dengan pintu masuk desa yang berada di samping Kantor Kelurahan Kalaodi.

Untuk masuk ke Kampung Kalaodi sendiri harus bersiap menghadapi turunan cukup curam, dengan barisan rumah warga berada di samping kanan dan kiri jalan desa.

Ketinggian Kampung Kalaodi sendiri terbuktikan dengan dari sana dapat melihat Kota Tidore yang berada di bawahnya, Pulau Halmahera jika melihat arah timur dan Pulau Maitara serta Kota Ternate jika melihat ke arah barat.

Kisah awal kampung itu cukup unik, dengan desa itu sebetulnya berasal dasa yang berada di dekat Kedaton Kesultanan Tidore yang kini berada di bawah administrasi Kelurahan Soasio.

Menurut Ketua Adat Kampung Kalaodi Syahril Maulut, lahirnya desa itu dimulai dari ketika nenek moyang mereka ratusan tahun lalu pindah dari Soasio ke Kalaodi.

"Awalnya hanya satu orang saja yang naik ke sini. Namanya tidak bisa disebutkan sembarang," kata Syahril.

Berkebun dan bertani adalah bagian tidak terpisahkan dari Kalaodi, desa itu bahkan memiliki ritual yang dilakukan setelah panen besar bernama paca goya. Ritual paca goya, yang mirip seperti Nyepi di Bali, dilakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap alam dan Tuhan atas rezeki yang dipanen.

Ritual itu sendiri sudah berumur ratusan tahun, dimulai sejak nenek moyang masyarakat desa mulai menempati kampung tersebut.

Selain paca goya, desa yang berada di hutan lindung Tagafura itu juga memiliki bobeto, atau dalam bahasa Tidore berarti sumpah turun temurun. Warga yang melanggar aturan adat, termasuk merusak alam, berarti melanggar bobeto yang karmanya akan dirasakan langsung.

Kuatnya tradisi tidak lepas akibat mayoritas masyarakat desa yang menggantungkan penghidupannya terhadap cengkih dan pala. Di Kampung Kalaodi terbagi dalam empat lingkungan atau dusun, masing-masing lingkungan memiliki wilayah tanamnya sendiri.

"Dari zaman orang tetua kita atau leluhur pembagiannya sudah begitu. Supaya jangan berkumpul biar tara (tidak) jadi longsor," kata Sudarwin Usman, warga Kalaodi yang berprofesi sebagai petani.

Di kampung itu juga tidak mengenal kepemilikan tanah secara pribadi, yang mereka miliki adalah pohon yang mereka tanam dan bisa mereka panen. Bukit-bukit dan lereng yang dipenuhi oleh pohon cengkih dan pala itu telah dibagi sejak zaman dulu.

"Kitong (kita) orang nenek moyang satu, jadi tidak bisa menjadi pemilik tanah atau lahan," kata Sudarwin, yang memiliki sekitar 100 pohon yang bisa menghasilkan satu ton cengkih kering ketika terjadi panen besar.

Sistem itu lebih mudah digunakan karena tidak ada orang asing yang menjadi penduduk di desa itu, semuanya masih berhubungan darah satu dengan lainnya.

Kampung yang berpenduduk sekitar 500 jiwa itu menjadikan cengkih sebagai komoditasnya utamanya, yang dipanen setahun sekali. Warga menyebutnya terjadi musim panen kecil dan besar tergantung dari jumlahnya.

Ketika terjadi panen musim besar, warga Kalaodi akan mendatangkan bantuan dari luar kampung dengan rekor terbanyak menyewa 500 orang untuk membantu panen warga.

Hal itu tidak mengherankan karena Kalaodi memiliki luas 2.000 hektare (ha) termasuk untuk pemukiman dan perkebunan, menurut hasil pemetaan warga dengan WALHI Maluku Utara pada 2014.

Selain cengkih dan pala Kalaodi juga memiliki komoditas durian dan kayu manis meski hasilnya tidak sebanyak cengkih dan pala.

Julukan kampung cengkih dan pala itu tampaknya pas diberikan kepada Kalaodi karena ketika memasuki desa itu, di sepanjang jalan di depan rumah warga banyak cengkih yang sedang dijemur.

Berkat yang didapat warga itu digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan membiayai anak-anak Kalaodi mencapai pendidikan yang lebih tinggi bahkan sampai ke Jakarta dan Malang di Pulau Jawa.

Semuanya itu mereka capai dengan tetap berkebun sambil berkomitmen menjaga alam.

"Kalaodi ini sebagian besar hutan lindung jadi masyarakat juga harus mengikuti aturan pemerintah dan aturan desa untuk menjaga lingkungan dan alam," ujar Ketua Adat Kalaodi Syahril Maulut.

Baca juga: Asa mencapai ketahanan pangan di desa-desa terpencil Halmahera

Baca juga: Tim EcoNusa selesaikan rute pertama Ekspedisi Maluku

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020