"Ya RUU minuman beralkohol ini sampai saat ini masih bersifat wacana," kata Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melki Laka Lena saat dihubungi ANTARA dari Kupang, Rabu.
Hal ini disampaikan berkaitan dengan adanya penolakan dari beberapa perajin minuman beralkohol di NTT yang menyatakan bahwa jika UU itu disahkan maka akan mematikan perekonomian mereka.
Melki Laka Lena mengatakan bahwa pembahasan soal RUU minuman beralkohol ini sudah pasti akan memakan waktu yang panjang dan pastinya pembahasan UU tersebut akan melibatkan berbagai pihak.
Menurut Melki, UU yang dibuat seharusnya tidak boleh mematikan usaha masyarakat yang selama ini berjalan. Tetapi jika UU dibuat untuk membatasi atau mengatur bagaimana produksi minuman beralkohol benar-benar tepat, maka ia menyetujuinya.
"Jadi UU itu dibuat atau disahkan tentu kalau dalam konsep membatasi atau mengatur bagaimana produksi dan distribusi minol itu benar-benar tepat itu, oke. Tetapi kalau sampai membatasi usaha bahkan mengganggu hajat hidup orang banyak yang selama ini sudah hidup dengan baik dari produksi minuman beralkohol ini tentu tak bisa diterima," ujarnya.
Apalagi kata dia, di NTT sendiri banyak sekali perajin minuman beralkohol tradisional yang selama ini menghidupi keluarganya bahkan menyekolahkan sampai ke perguruan tinggi dengan hasil berjualan minuman beralkohol tradisional.
"Nah kami akan tetap menjaga agar wacana UU minuman beralkohol ini juga harus tetap memberikan ruang agar orang-orang NTT yang selama ini hidup dari produsen minuman beralkohol tradisional ini tetap bisa diatur sesuai dengan aturan tetapi tidak membuat mereka mati," tambah dia.
Baca juga: Baleg DPR RI dengar penjelasan RUU Larangan Minuman Beralkohol
Sementara itu pemerintah NTT sendiri menyatakan menolak dengan tegas jika RUU minuman beralkohol itu dibawa ke rana pembahasan apalagi akan mematikan ekonomi masyarakat di NTT.
Pihaknya juga mendesak agar wacana soal akan ditetapkannya rancangan undang-undang larangan minuman beralkohol dikaji kembali oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat, karena akan mematikan ekonomi perajin dan sosial budaya masyarakat di provinsi berbasis kepulauan itu.
Kepala Biro Humas Setda Provinsi Nusa Tenggara Timur Marius A Jelamu mengatakan bahwa minuman beralkohol tradisional di NTT seperti Sopi merupakan salah satu komoditas ekonomi, sosial dan budaya.
"Sehingga kalau dilarang otomatis hal ini akan mematikan ekonomi perajin dan mematahkan budaya masyarakat NTT yang selama ini secara turun temurun sering digunakan dalam adat istiadat," katanya.
Baca juga: DPR: Pembahasan RUU Minol dapat perhatikan ketentuan di UU Ciptaker
Baca juga: Muhammadiyah: Regulasi minuman beralkohol bukan Islamisasi
Baca juga: Peneliti: Penanganan peredaran alkohol ilegal butuh reformasi regulasi
Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020