"Kerugian tersebut dapat dihitung secara kasar dari dampaknya. Misalnya banjir, kemacetan lalu lintas, deforestasi, hilangnya keanakeragaman hayati, terhentinya kegiatan sektor ekonomi dan hilangnya peluang pendapatan bagi masyarakat kecil yang lahannya tergusur," kata Sekjen Perhimpunan Cendekiawan Lingkungan
Indonesia (Perwaku), Herdianto WK di Jakarta, Rabu.
Menurut Herdianto, kerugian akibat banjir rata-rata setiap tahunnya bisa mencapai Rp100 triliun. Banjir besar di Jakarta pada tahun 2007 saja mengakibatkan kerugian Rp37 triliun.
Untuk kerugian akibat kemacetan lalu lintas, Herdianto menaksir jumlahnya mencapai Rp43 triliun setiap tahun. Kerugian ini dihitung dari kerugian sosial yang diderita masyarakat lebih dari Rp17,2 triliun per tahun akibat pemborosan nilai waktu dan biaya operasi kendaraan, meningkatnya emisi gas buang diperkirakan sekitar
25 ribu ton per tahun, penurunan produktivitas ekonomi kota (bahkan negara) dan merosotnya kualitas hidup warga kota.
Sementara dampak dari deforestasi (penebangan hutan) mengakibatkan kerugian pada kegiatan pertanian, perikanan, keanekaragaman hayati serta kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang diperkirakan mencapai lebih Rp150 triliun setiap tahun.
Deforestasi pada satu hektar hutan di Pulau Jawa dapat menyebabkan degradasi 3,3 hektare (ha) lahan di kawasan itu. Degradasi dan deforestasi di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pulau jawa mencapai 10,7 juta ha, berpotensi merugikan di sektor perekonomian sebesar Rp136,2 triliun/ tahun serta sebesar Rp37 triliun/tahun potensi kerugian di sektor pertanian sawah dan perikanan darat.
"Padahal deforestasi dan degradasi yang terjadi di Indonesia bisa mencapai lebih 10 kali lipat yang terjadi di Pulau Jawa," katanya kepada pers berkaitan dengan rencana seminar nasional "Pendekatan Ekologis untuk Penataan Ruang".
Herdianto menegaskan, berbagai kerusakan itu sebenarnya bisa dihindari asalkan asas penataan ruang dilakukan secara integral dan menyeluruh baik dalam tataran perencanaan alokasi sumber daya alam, manusia, pendanaan, kelembagaan dan pranata sosialnya.
Ia berpendapat bahwa saat ini dibutuhkan pendekatan baru agar penataan ruang bermanfaat sebagai panduan bagi kegiatan lainnya, bukan sebaliknya menjadi pangkal masalah bagi kegiatan lainnya. Pendekatan baru penataan ruang bertumpu pada unit ekologi (ecological unit) dengan memperhatikan "bioecoregion".
Secara alami, lingkungan alam pada dasarnya telah memiliki penataan ruang berdasarkan bioecoregion, sehingga terjadi perbedaan iklim, suhu, spesies dan faktor-faktor alami.
Penisbian faktor bioecoregion dalam penataan ruang pada dasarnya melanggar asas penataan ruang dan membuat ruang tidak tertata secara efisien. Pemanfaatan untuk kawasan pertanian akan berbeda dengan kawasan industri. Ketidakcermatan dalam mengkalkulasi daya dukung membuat ruang menjadi boros, bahkan dapat menimbulkan pukulan balik berupa bencana.
(T.F004/H-CS/R009)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010