Jakarta (ANTARA News) - Salah satu ajaran penting agama Islam dan agama lain adalah larangan berbuat zalim.
Wujud kezaliman beraneka ragam, mulai dari perkataan menyakitkan, perbuatan melukai orang dan perilaku negatif seperti sabotase, curang, menipu, mengurangi timbangan, tidak amanah, korupsi, serta kolusi.
Kezaliman dalam pandangan Islam tidak hanya menzalimi orang lain tetapi kezaliman pada diri sendiri dan itu dilarang, seperti bermalas-malasan, bekerja asal-asalan, tidak disiplin, seperti terungkap pada Al Qur`an dalam surat Fathir ayat 32 yang mengatakan bahwa "di antara mereka manusia itu ada yang berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri".
Apa bisa terjadi seseorang menzalimi dirinya sendiri?
Kelihatannya aneh, tapi mereka yang tidak bekerja secara baik sesuai aturan pada dasarnya berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri.
Karena akibat tidak disiplin bisa berakibat buruk bagi dirinya bahkan keluarganya, misalnya, bisa dipecat dari tempat ia bekerja.
Orang tidak disiplin bisa ada implikasi terhadap orang lain yang terganggu, karena sesunguhnya ia telah mengumpulkan sejumlah keburukan yang jelas-jelas akan menjadi beban baginya di hadapan Allah karena ia berbuat aniaya pada orang lain.
Jadi berbuat aniaya pada orang lain sesungguhnya ia berbuat aniaya pada dirinya sendiri. Demikian Alqur`an menegaskan, "In ahsantum ahsantum li anfusikum".
Terminologi korupsi sudah menjadi term umum yang di dalamnya ada kolusi dan ada nepotisme.
Banyak orang mengatakan bahwa korupsi di negeri ini telah menunjukkan angka rekor dan telah benar-benar mewabah atau dengan istilah lain telah membudaya, bahkan telah menjadi penyakit kronis.
Penyakit kronis sulit disembuhkan. Lebih-lebih ketika dulu korupsi hanya terdengar dilakukan di lingkungan eksekutif, kini sudah mewabah di kalangan legislatif, lebih heboh lagi ketika mafia mulai terbongkar, yang justru menjadi lokomotif maraknya korupsi dan kolusi.
Lebih parah lagi saat siapa pun ingin mencalonkan diri menjadi pejabat publik seperti gubernur, bupati atau lainnya, yang bersangkutan harus punya modal besar, untuk beli jaket politik bila yang bersangkutan bukan dari politikus karir.
Itu sebabnya mengapa partai politik menjadi pragmatis senang mengusung artis jadi calon pemimpin masa depan.
Sudah bisa diduga karena mereka mempunyai modal finansial besar membeli jaket politik itu, tidak peduli mereka pemabuk, cidera moral, atau bahkan pernah berbuat asusila.
Dalilnya macam-macam ada yang mengatakan moral tidak punya standar, sulit diukur, nampaknya penting yang bersangkutan tidak gila ingatan.
Inikah yang pernah diisyaratkan nabi "Idza wussidal amru ila ghairi ahlihi fantadzi al sa`ah", apabila suatu kepemimpinan diserahkan kepada yang tidak kompeten, maka tunggulah masa kehancurannya.
Kita bersemangat untuk memberantas korupsi, tetapi sistem demokrasi yang kita bangun penuh dengan ruang gerak berkolusi dan sogok menyogok untuk mendapat dukungan maupun untuk meluruskan jalan menuju karier tertinggi.
Kalau kita kurang yakin dengan apa yang dikemukakan di atas, silahkan cari bukti berapa miliar rupiah yang dihabiskan sampai seseorang duduk menjabat gubernur, atau kecil-kecilnya bupati.
Atau berapa puluh juta yang dihabiskan seorang guru untuk bisa menjabat kepala sekolah dari tingkat satuan pendidikan terendah hingga menengah atas.
Pasti akan diperoleh data tentang korupsi dan kolusi yang tidak akan pernah bisa diberantas, asalkan orang-orang berkata yang sesungguhnya dan tidak berusaha menutup-nutupi keburukan moral ini.
Ruang penyimpangan
Maka ketika proses menuju tercapainya cita-cita berkarir dengan mengeluarkan sejumlah uang penghalus atau pelicin namanya, sudah bisa dipastikan ruang penyimpangan akan dilakukan oleh penjabat tersebut, guna mengembalikan modal yang keluar dan bahkan harus segera beruntung sebelum masa jabatan berakhir.
Mengapa hal ini terjadi? Salah satunya karena sistem gaji jabatan yang didudukinya jauh tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan untuk mendapatkan jabatan itu.
Belum lagi dengan ketimpangan sistem penggajian antarinstansi, antarpropinsi dan antardepartemen yang nyata-nyata tidak berasas pada keadilan dan berperadaban.
Semangat yang ingin digerakkan Alqur`an dengan tugas "amar ma`ruf nahil munkar", adalah lahirnya keadilan yang diikuti oleh kemauan berbuat yang terbaik (ikhsan ) baru kemudian orang bisa terhindar dari berbuat yang munkar.
Demikian pesan Alqur`an yang berbunyi ,"Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk berbuat adil dan ikhsan, memberikan sesuatu terhadap kerabat dan Allah melarang kalian berbuat keji dan munkar".
Ketidakadilan dalam pengertian luas telah melahirkan perilaku penyimpangan yang merusak moraltas bangsa.
Kita tidak adil dalam pemenuhan kebutuhan antara lahir dan bathin, antara kebutuhan jasmani dan rohani.
Kita tidak adil dalam menyuguhkan tontonan dan tuntunan, antara tayangan yang mendidik dengan tayangan yang merusak.
Kita juga tidak adil antara porsi penegakan yang ma`ruf dengan kebebasan berekspresi meskipun menyuburkan yang munkar.
Arah pembangunan bangsa menjadi tidak jelas diarahkan dengan panduan apa. Agama bukan, Pancasila juga bukan bahkan kitab suci yang lain juga bukan.
Berita yang diturunkan oleh beberapa media seperti yang diulas oleh Asro Kamal dalam resonansi di Republika berjudul "Pergaulan Bebas" sungguh-sungguh mencemaskan dan memilukan sikap beragama masyarakat sehat.
Media Indonesia (6-1-2007) dengan mengutip ANTARA bahwa 85 persen remaja usia 15 tahun telah berhubungan seks bebas.
Republika (1 Maret 2007) menulis hampir 50 persen remaja perempuan Indonesia telah melakukan hubungan seks di luar nikah.
Penelitian lain yang dilakukan Annisa Foundation menjelaskan 42,3 persen pelajar SMP dan SMA di Cianjur telah melakukan hubungan seksual yang dilakukan suka sama suka.
Penelitian dilakukan antara Juli-Desember 2006 terhadap 412 responden yang berasal dari 13 SMP dan SMA negeri dan swasta.
Lebih memprihatinkan lagi adalah pengakuan responden 90 persen menyatakan mereka paham ajaran agama dan penyebabnya adalah penjualan kontrasepsi yang dapat dibeli bebas.
Kalau sudah begini buruk dan menyakitkan sikap beragama, siapa bertanggung jawab? Dokter, apoteker, selebriti, guru besar, guru kecil, penjabat pemda, atau anggota dewan yang terhormat atau kiai yang tidak tau menahu nilai profit dari media iklan yang tertonton setiap saat?
Kondisi seperti ini apa masih layak bahwa kita adalah masyarakat agamis. Apakah kita masih perlu mendiskusikan perlu tidaknya UU Pornografi, atau kita tunggu kehancuran paling sempurna.
Sisi negatif mana dari budaya bangsa ini yang perlu dilestarikan saat tayangan TV, media berbau porno, semakin mendekatkan para remaja melakukan hubungan seks diluar nikah.
Masih kurang buruk apalagi dari berita maraknya pembuangan bayi baru lahir di tong-tong sampah, di comberan dan di sudut-sudut pasar tradisional.
VCD dan DVD porno demikian murah dan mudah diperoleh meskipun ada razia kadarkum (kadang sadar kadang kumat). Sekali dirazia itu pun sudah bocor karena ada oknum berkepentingan yang murah disogok. Setelah itu lalu bebas lagi diperjual belikan sembunyi-sembunyi.
Dikira CCTV punya malaikat Allah tidak merekam gerak gerik manusia di manapun saat kerusakan demikian parah melanda generasi muda, ketika eksplorasi dan eksploitasi aurat makin dapat dukungan kokoh dan tempat yang leluasa sambil beriklanisasi demi yang namanya uang dan popularitas.
Oh kasihan bangsaku, kini engkau juga hanya bisa cari kader pemimpin asal kesohor meskipun juga kesohor dengan buka aurat di panggung.
Kita terlalu lama mendustai diri sendiri dalam beragama. Padahal pada saat yang sama kita yakin bahwa segala perbuatan jahat baik pada diri sendiri maupun pada orang lain akan mendapat balasan yang setimpal.
Bencana yang bertubi-tubi menimpa negeri ini masih bisa diperbaiki lebih mudah dan lebih murah, tetapi bencana moral dari mana harus kita mulai untuk kita melangkah?
Maka ketika kita bertekad memberantas yang namanya kolusi dan korupsi sebagai bagian dari bencana moral, pemberantasannya demikian terasa sulit.
Perlu banyak Satgas dibentuk. Satu terbongkar, puluhan, ratusan bahkan ribuan masih tersembunyi di balik dalil ketidakadilan dan ketimpangan hidup.
Gaya hidup tanpa pedoman juga turut mengubah prilaku dari ramah menjadi bringas, dari bertutur santun menjadi kasar, dari gaya hidup sederhana menjadi bergaya hidup mewah di tengan derita masyarakat banyak, yang menangis dalam kepiluan tanpa suara, dan berubah dari hidup dalam kebersamaan menjadi egois dan individualistik.
Maka korupsi juga biang segala keburukan dan kezaliman, karena peradilan bisa dibeli oleh mereka yang berduit.
Ingat kasus Anggodo, sang maklar, yang konon berada di penjara, tetapi tidak merasa di penjara, melainkan disembunyikan agar tidak membongkar ketersembunyian.
Apalagi setelah praperadilan memenangkan Anggodo. Saya bukan pakar hukum, tetapi saya boleh bertanya, ilmu apa yang digunakan hakim praperadilan, sehingga Anggodo menang?
Ya Allah, antrian panjang bisa disodok oleh mereka yang berduit, dan segala macam layanan yang bermutu hanyalah milik orang-orang yang berhasil membeli jasa layanan secara berkolusi.
Inilah rasanya sungguh-sungguh telah menzalimi masyarakat banyak.
Aneh sekali, mengapa hukum kok untuk hukum, padahal hukum seharusnya untuk manusia, untuk mengatur ketertiban hidup manusia agar tidak ada yang terzalimi.
Untung ada hari akhir, hari di mana manusia tidak bisa bersilat lidah, hari dimana kekuasaan Allah dan pengadilan-Nya ditegakkan se adil-adilnya.
*) Ketua Program Studi Pemikiran Agama Islam, Universitas Islam Jakarta. (*) H002
Oleh Prof. Dr. Aziz Fachrurrozi *)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2010